Pages

Monday, March 24, 2014

Journey to The East - Sulawesi Selatan (Day 4)

Tanjung Bira - Makassar - Jakarta
Rabu, 12 Maret 2014
  • Pete2 Tanjung Bira - Bulukumba Rp 20.000
  • Angkutan antar kota Bulukumba - Makassar (terminal Malengkeri) Rp 45.000
  • Pete2 Terminal Malengkeri - Pantai Losari Rp 4.000
  • Minyak Tawon 6 besar @ Rp 100.000, 2 kecil @ Rp 30.000
  • Pete2 Pantai Losari - Benteng Somba Opu Rp 4.000
  • Pete2 Benteng Somba Opu - Pantai Losari Rp 4.000
  • Pete2 Pantai Losari - halte DAMRI (RRI Rabura'ne) Rp 4.000
  • DAMRI ke bandara Sultan Hasanuddin Rp 25.000
  • Airport Tax Sultan hasanuddin Rp 40.000
  • Makan malam & roti di bandara Makassar Rp 13.000 + Rp 9.000
  • QG 713 UPG - CGK ETD 1945 ETA 21.10
  • DAMRI bandara Soetta ke Gambir Rp 30.000
  • Mikrotlet dari gedung Indosat ke rumah Rp 5.000
Tanjung Bira

Lewat tengah malah saya terbangun gara2 bunyi HP yang terus2an. Ini pasti server kantor udah normal lagi jadi banyak e-mail yang ke-pending masuk bertubi2. Ada beberapa e-mail penting dan harus segera diteruskan. Jadilah sekitar jam 2an malam baca dan balesin e-mail. Eh udah gitu kamar sebelah yang ditempatin 2 bule juga berisik. Salah satu dari mereka ngoroknya gak kira2 kencengnya. Tapi secara sayanya udah capek, setelah beres semua lanjut tidur lagi, gak keganggu sama ngoroknya tamu sebelah :D

Sekitar jam setengah limaan subuh saya bangun dan bergegas ke dermaga demi menyambut sang matahari.Jalanan masih sepi dan gelap, tidak ada penerangan di pinggir jalan kecuali dari teras rumah2 penduduk di sepanjang jalan. Beruntung saya selalu membawa senter kecil kemanapun berpergian.

Sepertinya kali ini saya tidak beruntung. Semburat merah yang menandakan munculnya matahari tidak kunjung nampak. Udah mati gaya nih duduk sendirian di bale2 dekat ATM center.

Karena matahari pagi tidak kunjung  muncul saya memutuskan untuk kembali ke penginapan nyaris jam 6 pagi. Heran kog disini gak banyak warga yang keluar rumah untuk shalat subuh. Padahal suara adzan sangat jelas terdengar.

Sampai di penginapan, Kak Shanti dan suaminya, Kak Erik, sedang ngobrol di teras. Duuhhh... mereka tuh emang pasangan yang ramah. Sempat ngobrol2 dengan mereka. Kak Shanti juga senang traveling.

Kak Shanti bilang, pantai Tanjung Bara lebih cantik lagi dan belum banyak orang disana. Tapi lokasinya agak jauh. Jalan kaki sekitar 30 menit. Informasi dari Kak Shanti, memang jalan menuju Tanjung Bara cukup sepi namun aman. Selama ini tidak pernah terjadi tindak kriminal di area Tanjung Bira dan Tanjung Bara. Di Tanjung Bara hanya 1 satu penginapan eh berupa resort ding yang dikelola oleh orang asing.

Karena saya penasaran, saya mencoba untuk ke pantai Tanjung Bara. Melewati Anda Beach Hotel. Masih lurus lagi. Tanya sana sini, malah ada yang heran saya mau ke Tanjung Bara dengan berjalan kaki dan menganjurkan untuk naik ojek karena lumayan jauh. Agak jauh ke dalam, saya lihat ada cafe sederhana. Hmmm... pasti itu tempat nongkrong bule2 pas lagi rame di Tanjung Bira. Kenapa sih harus bikin kafe dengan musik yang hingar bingar gitu untuk narik tamu bule? Gak perlu sebegitunya keleus. Kan dimana bumi di pijak di situ langit dijunjung :D

Jalan menuju Tanjung Bara memang bukan jalan besar hanya jalan setapak tapi sudah di-paving dan bisa dilalui oleh motor. Tapi kog semakin jauh saya jalan jalannya semakin sepi ya? Hiy... kayaknya saya gak berani nerusin deh. Mending balik aja deh.

Sampai penginapan langsung mandi dan beres2. Takut tiba2 pete2 yang ke Bulukumba datang. Setelah beres semua, saya ke bawah (front desk) untuk mengembalikan kunci. Ada Kak Shanti disana. Dan... nasi goreng untuk saya pun siap untuk dibawa. Makasih...

Jam 8an pagi pete2 baru datang. Padahal tadinya saya berharap jam 7an pagi sudah bisa berangkat ke Bulukumba. Hmmm... tambah siang dong sampai di Makassar. Sebetulnya menurut Kak Shanti ada travel yang lewat Tanjung Bira untuk menuju Bulukumba. Tapi ya sudahlah dengan pete2 aja.

Wuih... Bapak pengemudi pete2 ini gaul juga loh. Dia penonton setia program MTGW di salah satu stasiun TV swasta. Dia bilang topik dan cara penyampaiannya mudah dimengerti. Juga Bapak pete2 (sebut aja gitu, abis gak tau namanya sih :D) sering share/menyampaikan kembali isi dari program MTGW kepada para pemuda di sekelilingnya. Salut!

Satu per satu penumpang yang semuanya ibu2 naik pete2 ini. Oh... ternyata hari ini hari pasar. Hari pasar yang berlokasi di luar Tanjung Bira ini cuma ada 2x seminggu. Pak pete2 bulang mau muterin pete2nya satu kali lagi untuk ambil penumpang.

Walaupun tidak terisi penuh, namun ada beberapa penumpang yang kebetulan semuanya perempuan yang ngikut sampai terminal Bulukumba.

Di dalam terminal Bulukumba, Pak pete2 bantu nyariin angkutan menuju ke terminal Malengkeri. Dan berhenti di angkutan yang sudah nyaris penuh, jadi gak akan nunggu lama. Terima kasih ya Pak.... Semoga suatu saat kita ketemu lagi.

Dalam angkuta cuma 2 penumpang perempuan termasuk saya. Tapi Ibu2 penumpang lain itu rada2 aneh deh. Kadang ngegerendeng sendirian, entah apa yang diomongin.

Mobil berhenti untuk sarapan dan 2x berhetin untuk ambil penumpang. Di beberapa Kabupaten yang kita lewati, Polisi sedang mengadakan razia kendaraan umum. Karena ternyata mobil2 pribadi yang dijadikan angkutan umum jarak jauh.

Sampai di terminal Malengkeri eh si Ibu itu bikin ulah. Dia kurang bayar ongkos angkutan. Sopirnya marah2 minta tambah. Dari sana saya naik pete2 menuju pantai Losari.

Pantai Losari

Nah... kalo siang gini enak buat foto2 di sepanjang pantai Losari apalagi di hari kerja, masih sepi. Di seberang pantai losari juga terdapat rumah sakit Stella Maris. Uniknya, di depan rumah sakit ini berdiri patung Bapak , Ibu dan bayi dalam gendongan Ibunya. Penasaran pengen ke Benteng Somba Opu. Tapi sebelum kesana, sempat keliling ke jalan Somba Opu, tempat aneka toko oleh2. Mau beli minyak tawon aja sih. Setelah keluar masuk beberapa toko, saya berhenti di salah satu toko yang menjual beraneka macam oleh2 khas Sulawesi Selatan. Aneka kain tenun, ukiran, minyak tawon dan lain sebagainya. Disini saya beli botol minyak tawon yang besar dan kecil.

Dari beli oleh2 saya ke mesjid yang ada di pantai Losari untuk shalat Dzuhur dan menitipkan backpack dan minyak tawon karena saya penasaran mau ke benteng Somba Opu.

Tadinya saya berencana mau ke pulau Samalona dari pelabuhan Paotere yang ada di pantai Losari. Tapi dengan waktu yang sedikit, gak mungkin lah untuk ke sana. lain waktu jika ada kesempatan, pasti saya akan jadwalkan ke Samalona.

Dari pantai Losari saya naek pete2 menuju benteng Somba Opu. Dengan menggunakan pete2, berasa seperti city tour; menjelajah jalan2 di kota Makassar yang juga melewati pecinan Makassar di jalan Timor dan Lombok.

Tenyata lokasi benteng tersebut lumayan jauh dan harus nyambung dengan menggunakan ojek karena tidak ada pete2 yang ke arah sana. Padahal saya sudah sampai jembatan yang menuju ke benteng Somba Opu loh. Tapi mengingat waktu yang mepet saya memilih untuk kembali ke pantai Losari.

Agak lama juga menunggu pete2 dan tempat ini juga agak sepi. Menyesal saya memilih ke benteng Somba Opu. Mestinya tidak udah kesini dan jalan2 aja di sekitar pantai Losari.

Agak terbirit2 di pantai Losari menuju mesjid untuk ambil barang titipan dan langsung menunggu pete2 untuk ke halte DAMRI.

Yaaahhh... gak sempet foto2 benteng Rotterdam deh :(

Pas banget dampe halte, ada bus DAMRI yang akan segera berangkat ke bandara. Dan ternyata... halte bus DAMRI itu tepat berada di seberang RRI yang di dekatnya ada penjual nasi kuning Riburane yang kondang itu. Sayang... hanya berjualan di pagi hari!

Akhirnya sampai juga di bandara Sultan Hasanuddin. Setelah check ini dan masukin bagasi, saya keluar lagi untuk makan sore menjelang malam. Menunya sih ala kadarnya tapi daripada masuk angin dan tepar sesampainya di Jakarta ya dimakan aja deh tanpa perasaan :D.

Pesawat berangkat dengan tepat waktu begitupun sampai di Jakarta. Eh saya kog berasa kaki saya bengkak nih. Ya iyalah secara 15 jam nonstop saya duduk di mobil dari Tana Toraja ke Makassar dan langsung lanjut dari Makassar ke Tanjung Bira :D

Jadi... jangan khawatir dengan cuti yang terbatas masih bisa kog eksplor beberapa tempat di Sulawesi Selatan ini :)

Saturday, March 22, 2014

Journey to The East - Sulawesi Selatan (Day 3)

Senin, 10 Maret 2014
Makassar - Tanjung Bira
  • Pete2 pool bus Litha - Jl Sultan Alauddin Rp 4.000
  • Pete2 Jl Sultan Alauddin - Malengkeri Rp 4.000
  • Angkutan Malengkeri - terminal Bulukumba Rp 45.000
  • Pete2 terminal Bulukumba - Tanjung Bira Rp 20.000
  • Penginapan Salassa (Tanjung Bira) Rp 100.000
  • Nasi goreng Rp 13.000
  • Salad di Amatoa Rp 25.000
  • Hot Cappuccino di Amatoa Rp 20.000
  • Pisang goreng di D'Perahu Rp 30.000
  • Es cokelat kopi di D'Perahu Rp 25.000
Sekitar jam 04.00 terasa sudah masuk wilayah Makassar. Jam 5an subuh sudah sampai lagi di pool bus Litha. Sempat bingung mau naik taxi atau pete2 menuju terminal Malengkeri. Beberapa kali nyetop pete2 tapi gak ada yang langsung ke Malengkeri. Ada satu pete2 dengan seorang penumpang Ibu2. Ibu itu bilang memang gak ada pete2 yang langsung ke terminal Malengkeri. Harus naik pete2 yang ke arah Cendrawasih dan ganti pete2 untuk ke terminal Malengkeri. Ya sudahlah, secara ada penumpang lain ini dan akan ditunjukin dimana harus turun untuk ganti pete2.

Sampai di jalan Sultan Alauddin, saya berganti pete2 yang akan menuju ke terminal Malengkeri. Gak sampai masuk terminal sih, karena sopir pete2nya bilang itu ada mobil plat kuning ke Bulukumba dan turun disini aja.

Jadi angkutan umum menuju Bulukumba itu seperti mobil pribadi Panther, Avanza atau sejenis Kijang lainnya dengan plat kuning. Sama seperti angkutan dari Rantepao ke Makale pp gitu deh. Beruntungnya, mobil yang saya naiki sudah nyaris penuh dan gak perlu nunggu lama untuk jalan. Total dalam mobil ada 10 penumpang yang terdiri dari 4 orang perempuan dan selebihnya laki2. Alhamdulillah... semua penumpang baik, paling tidak itu yang saya rasakan.

Sepertinya kalo angkutan ini agak kosong, akan sering berhenti untuk ambil penumpang tapi karena mobil yang saya tumpangi sudah penuh, jadi bablas langsung deh.

Angkutan ini gak pake AC dan penumpang juga sopir ngerokok seenak jidat mereka. Sayangnya saya tuh minoritas disini. Kalo komplen bisa2 saya diturunin di tengah jalan :P 

Secara saya masih punya nasi dan bekal lauk kering, maka ketika mobil berhenti untuk makan pagi di tempat makan, saya makan tuh bekal. Mobil gak pake berhenti2 lagi, langsung bablas.

Jadi dari Makassar menuju Tanjung Bira itu akan melewati 4 Kabupaten; Gowa, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Pantesan aja perjalanannya lama. Jauh bo...

Bulukumba

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 4 jam non stop dan tanpa macet, akhir mobil sampai di terminal Bulukumba. Agak2 bingung nih, dari terminal Bulukumba harus naik apa untuk menuju Tanjung Bira tapi gak lama ada Bapak2 sopir pete2 yang teriak2 akan jalan ke Tanjung Bira dan sudah ada 2 penumpang di dalamnya. Daripada saya bingung nunggu pete2 lain, langsung saya naik pete2 itu.

Tanjung Bira

Setelah menempuh perjalan hapir 90 menit akhirnya saya sampai di Tanjung Bira. Bapak pengemudi pete2 mengantar saya sampai depan guest house Salassa, tempat saya menginap. Jadi sebelumnya saya melewati dermaga Tanjung Bira dimana kapal dan ferry akan menuju pulau Selayar kemudian melewati gerbang Tanjung Bira terdapat beberapa guest house searah menuju pantai Tanjung Bira.


Setelah memberikan ongkos pete2 sebesar Rp 20.000, saya bertanya apakah besok pagi pete2 ini akan lewat Tanjung Bira untuk menuju terminal Bulukumba dan Bapak itu mengatakan akan melewati. Ya sudah, saya janjian akan naik pete2 si Bapak lagi besok pagi.

Ternyata saat saya datang, Salassa guest house ini sedang kosong. Jadilah saya satu-satunya penghuni dengan 6 kamar kosong. Saat saya mengambil kunci, saya hanya ditemui oleh family si pemilik penginapan. Kamar berada diatas dengan bentuk rumah panggung dari kayu dan terdapat 2 kamar mandi di luar. Kamar terasa hangat karena dibuat dari kayu. Di dalam kamar dilengkapi dengan kipas angin dan tanpa tv.

Saat saya sampai di penginapan, hujan turun lumayan deras. Wah... tertunda untuk jalan-jalan nih. Ya udah sementara menunggu hujan reda, saya beres2 dan bersih2 dulu.

Setelah hujan berhenti saya mulai berjalan2. Dimulai dari menuju dermaga kapal dan ferry Tanjung Bira. Eh ada warung makan Jawa Timuran nih. Pas bener buat ngisi perut yang belum makan siang. Tapi sayaaang... dari menu yang dipajang seperti soto ayam dan lainnya menu tersebut tidak tersedia, cuma ada nasi goreng. Yaelah... jauh2 berkelana sampai Tanjung Bira masa' masih makan nasi goreng. Tapi secara gak ada warung/tempat makan lain di sekitar Tanjung Bira ini ya sudah dengan sangat terpaksa pesan 1 nasi goreng :(

Setelah makan, saya melanjutkan jalan2. Melihat2 sekeliling dermaga. Walaupun kecil tapi dermaga ini terlihat selalu ramai.


Meneruskan berjalan kaki tidak jauh dari dermaga ada desa tempat membuat kapal kayu Phinisi. Saat saya mendekat, ternyata saat itu sedang dikerjakan pesanan 5 phinisi. Wow... keren!


Puas berkeliling area ini, sekarang saya balik ke arah pantai Tanjung Bira. Pantainya bagus dengan pasir putih dan laut dengan gradasi biru-nya. Ombak di pantai ini tenang, jadi gak bisa digunakan untuk selancar. Terlihat di kejauhan pulau Liukang. Sedangkan pemandangan arah ke Tanjung Bara terlihat ada restoran berbentuk Phinisi diatas bukit karang. Keren euy!

Etapi kog saya gak liat pedagang yang jual kelapa muda di sepanjang pantai. Ada berderet warung2 tapi semuanya menjual mie instant dan minuman softdrink. Gak usah berharap ada yang jual seafood barbeque deh. Gak ada tuh...

Puas ala ala berjemur saya penasaran dengan resort terbagus di tempat ini; Amatoa Resort! Ya cuma sekedar ngopi2 atau ngemil2 cantik :D.

Duuuhhh... akses ke resort ini gak banget deh. Masa' harus melalui jalan becek. Udah gitu gak ada signage-nya. Bingung pintu masuknya, gak ada tanda2nya sih. Cuma ada satu bangunan dengan pintu kusam yang tertutup. Sempet tanya orang di jalan, emang udah bener arahnya dan dia bilang ketuk aja pintunya. Jalan agak jauh lagi, kog malah tambah sepi. Akhirnya pintu kusam itu saya ketuk karena terdengar di dalamnya seperti orang sedang menyapu. Gak lama kemudian pintu dibuka dan saya tanya apakan benar ini Amatoa Resort dan dijawab iya. Resort yang aneh.

Ternyata resort ini lagi bersih2 karena pada saat saya kesana kondisi kamar yang kosong alias tidak ada tamu yang menginap. Di restorannya terlihat cuma ada 2 orang tamu; bertiga dengan saya.

Saya pesan salad dan cappuccino. Voila.... apa yang datang? Aneka sayuran dengan potongan besar2 dan saus cuka. Berasa seperti kelinci yan lagi makan potongan wortel deh. Tadinya saya membayangkan salad sayuran dengan saus mayonnaise dan thousand island. Bagaimana dengan cappuccino saya? Yaaahhh... itu sih seduhan kopi bubuk yang dicampur susu! Kalo ditambahkan whipped krim masih mending. Ini sih benar2 kopi susu. Untuk harga, ya sesuai lah dengan tempatnya. Maksudnya pasti lebih mahal dari sekitarnya dan untuk ukuran daerah.

Kecewa banget deh dengan menu yang disajikan. Tapi... agak terobati dengan pemandangan dari kolam renangnya. Keren banget! Menghadap langsung ke laut. Udah gitu ini resort punya akses langsung nyebur laut yang berwarna biru muda.


Saya gak tau apakah kolam renang tersebut boleh untuk semua tamu (walaupun cuma makan di restoran) atau hanya untuk tamu yang menginap.

Sepertinya kamar2 di resort ini pun menghadap ke laut. Pasti keren banget deh. Sayang saya belum mampu untuk menginap di resort ini.

Setelah puas di melihat pemandangan dari resort ini saya kembali ke penginapan.

Setelah mandi yang agak sore, saya memutuskan kembali lagi ke pantai untuk melihat sunset. Sempet ngobrol2 dengan 2 penduduk setempat. Informasi darimereka nyeberang ke pulau Liukang Loe dengan perahu bermotor hanya sekitar 15 menit. Tapi sayang.... saya cuma menginap selama 1 malam.

Pada bulan2 awal tahun memang pantai Tanjung Bira ini sepi pengunjung. Baru mulai bulan Juli sampai September ramai bule2 berdatangan begitu juga pada akhir tahun. Semua penginapan yang ada di ada di Tanjung Bira akan penuh.

Dari ngobrol2 itu juga didapat informasi memang tidak ada warung yang menjual makanan kecuali mie instant juga gak ada yang jual kelapa muda. Walaupun sedang ramai pengunjung! Bahkan tidak ada tempat makan yang menyediakan hidangan seafood atau barbeque. Sayang banget tuh, potensi bisnis dibiarkan.

Setelah matahari menghilang, saya kembali lagi ke penginapan. Oiya, sederetan dengan guest house Salassa, terdapat guest house lainnya yang direkomendasikan untuk backpacker seperti Riswan guest house dan Sunshine guest house.

Sepertinya Sunshine guest house keren tuh. Letaknya lebih tinggi dari guest house lainnya tapi harus masuk ke dalam, tidak persis di pinggir jalan raya.

Sekitar jam 19.00 saya turun ke front desk yang sekaligus merupakan restoran mungil guest house Salassa dan saya bertemu dengan pemiliknya, Kak Shanti. Orangnya ramah loh...

Saya pesan besok akan check out pagi eh malah ditawari breakfast dibungkus aja dan mau dibikinin apa? Duuuhhh... Kak Shanti ini baik banget deh. Akhirnya dia bilang besok pagi akan dibuatkan nasi goreng aja untuk dibawa.

Kak Shanti bilang sunrise akan muncul di area dermaga sekitar jam setengah limaan gitu. Oke, besok saya akan kesana menanti matahari terbit.

Restoran Salassa terlihat penuh, sebagian besar tamu2nya adalah bule. Eh kog saya sebelumnya gak ketemua dengan bule2 itu ya? Nginep dimana sih mereka? *kepo. Pengen juga sih nyobain makanan buatan Kak Shanti di resto ini tapi masih banyak tempat yang harus dikunjungi.

Saya menuju restoran D'Perahu. Itu loh restoran yang berbentuk phinisi. Jalan menuju tempat ini lumayan sepi. Restoran D'Perahu merupakan restoran yang menyatu dengan hotel Anda Beach. Bangunannya terpisah antara hotel dan restoran namun masih dalam satu area.

Saya sempat tanya ke Bapak2 yang nongkrong di depat hotel Anda Beach kalo mau ke D'Perahu lewat mana, eh dia bilang lurus aja. Saya sempat mengikuti arahan Bapak itu, tapi akhirnya meutuskan kembali karena jalannya semakin sepi. Hiy... saya gak berani deh.

Saya sampaikan ke Bapak itu saya gak berani untuk jalan terus karena sepi, eh dia bilang ya udah sebetulnya bisa lewat tempat Bapak itu nongkrong karena memang itu merupakan samping Hotel Anda Beach dan hanya untuk jalan kaki. Sedangkan pintu masuk yang sesungguhnya dan untuk dilewati mobil ya lewat jalan sepi tadi. Saya diantar Bapak itu sampai pintu masuk D'Perahu.

Sayang saya datang kesini malam. Pemandangan dari restoran ini keren banget! Sembari makan bisa langsung memandang laut biru. Eh makanan disini juga lebih oke dari di resort kondang tadi walaupun sama mahalnya :P. Saya pesan pisang goreng dengan es cokelat kopi, biar gak kecewa kalo ternyata hasil kopinya tidak seperti yang diharapkan :D.


Pisang goreng datang dengan parutan keju dan coklat juga es cokelat kopi sangat nikmat. Pas deh untuk teman leyeh2.

Malam itu tidak terlalu banyak tamu yang makan di D'Perahu. Hanya saya, sepasang oma & opa bule dan 3 orang cewek2 traveler. Kalau berkunjung ke Tanjung Bira, mampirlah ke restoran D'Perahu untuk sekedar ngopi2 atau ngemil2 cantik. Pemandangannya ciamik dan romantis :P.

Perut kenyang dan begah (kebanyakan ngopi nih) tandanya harus kembali ke penginapan. Ternyata saat sampai di kamar, kamar sebelah saya sudah terisi, 2 orang bule. Eh gak ngeliat wujudnya sih, cuma kedengeran suara mereka lagi ngobrol. Oiya, kalo nginep disini, jangan berbuat yang aneh2 di dalam kamar ya. Karena akan terdengar sampai ke kamar sebelahnya loh :D

Friday, March 21, 2014

Journey to The East - Sulawesi Selatan (Day 2)

Senin, 10 Maret 2014
Tana Toraja - Makassar

  • Ojek keliling Tana Toraja Rp 200.000
  • Makan pagi Rp 25.000
  • Tiket masuk Bori' Parinding Rp 10.000
  • Gula, permen, rokok untuk Rambu Solo Rp 69.000
  • Tiket masuk Kete' Kesu Rp 10.000
  • 6 kotak kayu untuk oleh2 Rp 55.000
  • Makan siang Rp 30.000
  • Tiket masuk Londa Rp 10.000
  • Tiket masuk Lemo Rp 10.000
  • Tiket bus Litha dari Toraja ke Makassar Rp 120.000
  • Kopi 1 kg Rp 65.000
  • 1 taplak meja tenun Toraja Rp 100.000
  • Penginapan Rp 60.000
  • Nasi Rp 5.000
  • Putu Ayu & Donat kampung Rp 2.000
  • Tas kain I Love Toraja Rp 20.000
  • Pete2 dari Rantepao ke Makale Rp 7.000
  • Pete2 dari Makale ke Rantepao Rp 7.000
  • Bentor dari penginapan ke pool bus Rp 7.000
Ini judulnya sepanjang jalan antara Makassar sampai Tana Toraja diisi dengan tidur. Sempat beberapa kali terbangun, tapi secara di luar masih gelap ya mending merem lagi deh. Jadi jangan tanya bus ini melewati kabupaten apa saja. Antara bangun dan terlelap, terasa beberapa kali bus berhenti walaupun gak lama. Bangun yang sebenar2nya pas di Makale. Dan saya langsung mikir, bentar lagi nyampe nih.

Rantepao

Sampai Rantepao jam 06.00. Pool bus-nya terletak diantara pertokoan. Selain pool bus Litha juga disini ada beberapa pool bus lainnya. Banyak tukang ojek nawarin jasanya. Tapi rasanya badan ini belum siap untuk diajak jalan. Ada satu tukang ojek yang nawarin tapi saya jawab nanti karena saya mau ke mesjid dulu. Ditunjukkannya arah ke mesjid yang lokasinya belokan ke kiri kedua dari pertokoan ini.

Oiya, tempat pool bus2 tersebut memang disebut pertokoan oleh masyarakat setempat dan pool bus2 disebut perwakilan. Lokasi pertokoan di jalan Mappanyukki

Tidak seberapa jauh ke mesjid ini. di antara pilar mesjid ini terdapat tongkonan (rumah adat Toraja) di kiri kanannya. Sayang pintu masuk ke dalam mesjid ini tertutup. Boro2 untuk cuci muka untuk wudhu dan shalat subuh (yang kesiangan) aja gak bisa.

Di depan mesjid tukang ojeknya nungguin. Dia nawarin jasanya 250rb deal-nya 200rb dengan rute Batutumonga, Kete' Kesu, Lemo, Londa terserah dia deh. Saya bilang pokoknya objek yang menarik. Tapi yang pasti saya mau ke Batutumonga. Juga tanya ada acara Rambu Solo apa enggak. Kalopun ada tapi jauh, gak usah. Dia bilang akan tanya ke teman2nya mengenai acara Rambu Solo; acara adat untuk pemakaman. Semakin kaya, punya status tinggi dalam masyarakat akan semakin meriah acara tersebut.

Batutumonga

Sarapan dulu, cuma nasi pake ayam goreng secara sayur dan lauk lainnya belum siap. Eh pas sarapan saya baru kenalan sama tukang ojek-nya loh :D. Setelah selesai makan kita langsung ke Batutumonga. Jalannya menanjak dan jelek, jauh pula. Berlubang dan berbatu2. Sayang kabut masih tebal, gak keliatan deh kota Rantepao. Batutumonga terletak di kaki gunung Sesean.



Batutumonga disebut juga kampung diatas awan karena berada di dataran tinggi dan dari sini kita seperti berdiri menginjak awan. Keren...

Ada resort (kayaknya sih satu2nya deh) di Batutumonga yang namanya Mentirotiku. Terlihat ada 2 bule sedang menikmati sarapan pagi di resort tersebut. Mentirotiku resort yang berbentuk tongkonan. Unik juga tuh. Tapi cukup repot kalo menginap disini karena tidak ada angkutan umum/pete2 yang melintas. Jadi harus sewa motor. Eh mungkin ada juga pete2 tapi waktu saya kesana, gak ada yang lewat tuh.

Sepanjang Batutumonga terlihat hamparan hijau lahan persawahan. Juga terlihat beberapa batu besar diantara sawah2 tersebut. Seperti batu yang dilontarkan gunung pada saat meletus. Seperti dataran tinggi lainnya, di Batutumonga ini terasa sejuk.

Loko'mata

Dari sini menuju Loko'mata, yaitu tempat pemakaman yang berupa batu besar yg dipahat oleh manusia untuk membuat lubang tempat peti mati. Di dekat batu ini juga terlihat keranda yang berbentuk Tongkonan. Pada lubang2 tersebut terlihat ada Tao Tao (patung berbentuk manusia). Keranda ini hanya dipakai 1x, tidak boleh dipakai berulang untuk mengantar jenazah orang lain walaupun masih satu keluarga. Tao Tao ini menggambarkan orang yang sudah meninggal. Tao Tao yang masih kasar biasanya buatan jaman dahulu dan kurang mirip dengan aslinya. Namun Tao Tao buatan sekarang sudah terlihat mirip dengan aslinya.




Di sekitar Loko'mata juga terdapat Patane, yaitu tempat pemakaman buatan manusia. Bentuknya bermacam2 tapi kebanyakan berupa bangunan tongkonan kecil. Patane ini dapat berisi beberapa peti jenazah, tentunya yang masih satu keturunan.

Tidak jauh dari situ terlihat 2 kerbau bule sedang merumput. menurut si guide, semakin banyak putihnya dan sedikit warna hitamnya seekor kerbau, semakin mahal harganya. Bisa mencapai milyaran. Ebuset... Masih menurut Eddy, kerbau bule itu bisa dibilang rezeki karena tidak dihasilkan secara genetik. Kerbau bule bisa terlahir dari pasangan kerbau biasa.

Semahal apapun harga kerbau bule, setiap keturunan akan selalu menyediakan paling sedikit 1 kerbau bule saat upacara Rambu Solo untuk orangtuanya. Sebagai penghormatan/tanda bakti anak.

Bori' Parinding

Lanjut ke Bori' Parinding; tiket masuk ke objek ini Rp 10.000 WNI dan Rp 20.000 wisman. Disini terdapat beberapa menhir (batu berbentuk panjang) dari jaman megalitikum. Naik keatas dari Bori' Parinding ini dapat kita temui pohon tinggi dan besar tempat pemakaman bayi. Lubang di pohon sudah tidak tampak karena tertutup daun. Walaupun tidak terlalu tinggi tangga dari lokasi menhir ke pohon besar tapi cukup membuat pegel kaki.



Informasi yang di dapat Eddy setelah menghubungi teman2nya, ternyata ada perayaan Rambu Solo di dekat Kete' Kesu. Eddy menganjurkan untuk saya membawa sedikit

buah tangan. Akhirnya kita ke pasar di Rantepao untuk beli gula pasir, rokok dan permen untuk diberikan kepada keluarga yang mengadakan Rambu Solo nanti.


Kete' Kesu

Dari pasar langsung menuju Kete' Kesu. Untuk masuk ke dalamnya ada tiket masuk sebesar Rp 10.000. Lumayan bisa nitip backpack yang lumayan berat di loket ini. Disini terdapat jejeran tongkonan lengkap dengan tanduk kerbau dan kerangka kepala kerbau yang jumlahnya menandakan banyaknya kerbau yang telah dipotong.



Masuk lebih ke dalam inilah objek di Kete' Kesu berupa bukit tempat menyimpan peti jenazah. Sebelum naik ke bukit (yang sudah dibuat anak tangga) terdapat beberapa Patane yang bermacam2 bentuknya. Gak cuma berbentuk tongkonan saja.

Karena Eddy sedang menerima telepon, saya naik sendirian. Tiba diatas terlihat pemandangan yang.... agak2 gimana gitu. Karena terlihat beberapa kerangka manusia tergeletak begitu saja. Beberapa ada yang ditempatkan dalam peti tapi tidak tertutup.

Saya memutuskan untuk kembali ke bawah. Karena suasana lebih sepi kalau saya melanjutkan keatas :D. Saat saya tanya Eddy kenapa kerangka2 tersebut dibiarkan tergeletak seperti tidak ada yang mengurus, Eddy menjawab memang begitu tradisi di sini.

Sebelum keluar dari kompleks Kete' Kesu, Eddy bilang kalau mau beli suvenir khas Toraja lebih murah disini saja daripada di luar atau di pertokoan. akhirnya saya memutuskan untuk membeli kota kayu dengan ukiran Toraja untuk oleh2. Untuk 6 kotak kecil saya membayar Rp 55.000,-.

Lanjut untuk melihat Rambu Solo. Menurut Eddy yang meninggal adalah seorang nenek yang cukup berpengaruh semasa hidupnya. Jadi acara ini dapat dipastikan akan besar dan memakan waktu berhari-hari.

Upacara Rambu Solo

Gak bisa dibilang deket juga sih dari Kete' Kesu ke lokasi Rambu Solo. Item mutlak deh ini judulnya, berpanas2 naik motor. Sampai di lokasi Rambu Solo, terlihat sudah banyak oang disana baik itu keluarga dan kerabat juga turis domestik dan luar negeri.

Jadi para tamu dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing2 kelompok akan disambut oleh pihak keluarga dengan iring2an penjemput dari pintu masuk sampai ke ke tempat perjamuan kemudian ada tarian sambutan yang dibawakan oleh sekelompok laki2 kemudian iring2an perempuan berseragam membawakan makanan dan minuman untuk para tamu tersebut. Ritual ini akan berulang manakala masih ada kelompok tamu yang datang.



Di area ini terdapat rumah panggung sebagai tempat perjamuan juga ada beberapa rumah untuk keluarga setelah prosesi perjamuan.

Etapi ritual penyambutan ini gak berlaku untuk para turis loh :P.

Terlihat juga banyak hewan babi yang dibawa tamu untuk keluarga yang mengadakan Rambu Solo. Eh ada juga beberapa kerbau bule tuh. Kasihan deh ngeliat babi2 itu. Dengan kaki2 terikat ditaro di tempat yang panas.

Acara Rambu Solo ini juga berlaku bagi warga Toraja yang beragama Islam. Jika non muslin, jenazah disimpan dulu selama beberapa waktu sampai tahunan baru diadakan Rambu Solo maka untuk yang beragama Islam, jenazah akan langsung dimakamkan dan Rambu Solo tetap dilaksanakan tentunya tanpa ada hewan babi.

Karena gak tau mana pihak keluarga yang mengadakan acara ini, saya menyerahkan gula, kopi dll kepada Bapak tua di dekat rumah induk.

Yang agak mengganggu dari acara Rambu Solo ini adalah dari pintu jalan masuk sudah ada umbul2 salah satu parpol demikian juga pada kuda mainan yang digunakan anak2 saat membawakan tarian sambutan selamat datang terdapat lambang parpol tersebut bahkan seragam penari laki2 juga menggunakan kaos dengan tulisan parpol itu. Ada apa ya? Emang yang mensponsori acara ini suatu parpol ya?

Dari hasil ngobrol2 dengan Eddy ternyata salah satu anak dari Oma yang meninggal ini adalah calon legislatif dari parpol itu. Ya gak sebegitunya keleusss acara keagamaan/budaya dicampuri sama kampanye terselubung.

Selesai dari tempat acara Rambu Solo, kita cari makan siang dulu ke tempat yang searah menuju Londa. Yang penting makan siang dan "no pork", gak usah tanya soal rasa deh :D.

Londa

Londa merupakan tempat pemakaman di dalam gua diatas bukit dengan membayar tiket masuk Rp 10.000,- . Bagaimana yah caranya membawa/mengangkat peti mati ke tebing yang tinggi itu? Semakin tinggi tempat pemakaman itu artinya semakin tinggi pula status dalam masyarakat yang meninggal. Disini saya mengagumi tao tao yang sepertinya mirip dengan mendiang.



Eddy selalu menawarkan untuk memoto saya di depan tebing/gua tempat pemakaman tapi saya selalu menolak. Gak tau yah, menurut saya sih gak perlu mengganggu "mereka" dengan foto2. Biarin hidup masing2 :)

Lemo

Selesai di Londa lanjut ke Lemo. Ini juga sama pemakaman di tebing tapi kalo di Londa berupa gua di Lemo berupa lubang yang dibuat/dipahat manusia. Terlihat berjejer tao tao berpakaian warna merah, putih dan kuning. Menurut abang ojek yang merangkap guide, pakaian tao tao tersebut baru diganti jadi warnanya masih cerah.



Dari tadi pagi keliling objek di Tana Toraja dan membeli tiket masuk, baru di Lemo saya mendapat karcis/bukti bayar. Hmmm... kenapa yah di tempat2 sebelumnya gak ada yang ngasih karcis???

Dari perjalanan pulang saya tanya ke abang ojek apakah ada tempat/penginapan hanya untuk day use? Karena saya cuma perlu untuk tempat mandi dan men-charge peralatan saja. Menurut dia tempat seperti itu tidak ada tapi dia bilang ada penginapan murah yang harganya sekitar Rp 50.000,- semalam cuma tempatnya agak jauh dari pertokoan.

Karena memang tidak akan menginap saya setuju untuk diantar ke tempat tersebut; namanya Wisma Tengkasituru di Jalan Frans Kalangan. Penginapan ini berbentuk rumah panggung. Ternyata harganya Rp 60.000/malam. Okeh... tempatnya gak direkomendasi deh. Kalo cuma untuk bersih2 dan nge-charge sih boleh lah tapi kalo untuk menginap.... BIG NO NO deh!

Sayangnya pada saat saya ke Toraja bukan waktunya hari pasar untuk jual beli kerbau di Pasar Bolu. Hari pasar hanya ada 6 hari sekalai dimana aneka kerbau diperjualbelikan disana.

Setelah bayar penginapan, saya minta abang ojek untuk antar ke pertokoan. Di sini kita pisah. Makasih ya Bang...

Pertama saya menuju pool bus Bintang Prima eh ternyata harga tiketnya lebih mahal Rp 20.000,- ya udah balik beli tiket bus Litha aja deh untuk ke Makassar. Bus dari Rantepao ke Makassar berangkat lebih cepat yaitu jam 20.00. Saya minta tempat duduk yang sebelahnya perempuan. Dan memang kalau saya perhatikan, sebagian besar penumpang bus ini baik dari Makasar ke Toraja ataupun sebaliknya adalah perempuan.

Setelah urusan beli tiket selesai, saya cari suvenir berupa taplak meja dengan tenun khas Totaja. Wuih... ternyata harganya cukup mahal loh. Ya udah beli 1 aja buat nyogok boss biar ijin cuti diperlancar. Hihihi... Kopi bubuk juga banyak yang jual tuh. Saya beli 1 kg tapi dibagi dalam beberapa bungkus. Namanya juga oleh2, kan gak perlu banyak tuh :D.

Makale

Selesai belanja, saya langsung cari kendaraan umum ke Makale karena penasaran dengan patung Lakipadada di tengah kolam. Ternyata angkutan umum dari Rantepao ke Makale bukan sejenis angkot satu pintu melainkan seperti kijang/panther pribadi namun berplat kuning. Mobil2 itu beroperasi cuma sampai 17.00. Wah harus cepat2 nih.

Sekitar setengah jam akhirnya sampai di depan kolam tempat patung Lakipadada berada. Di sekitar situ juga terdapat gereja dengan latar belakang bukit yang keren abis. Sepertinya Makale tidak seramai Rantepao. Tapi terlihat ada beberapa orang bersiap2 untuk membuka lapak jualan makanan. Mungkin kalo malam lebih rame karena banyak yang jualan makanan.



Gak lama2 di Makale, langsung cari angkutan balik ke Rantepao. Beruntung mobil angkutan ini melewati jalan raya menuju penginapan jadi gak terlalu jauh jalan kaki. Sebelum ke penginapan, mampir di warung makan untuk membeli nasi. Ternyata banyak warung nasi halal. Sambil jalan ke penginapan beli putu ayu dan donat untuk cemilan. Ini nasinya banyak banget deh. Saya beli Rp 5.000 bisa buat 2x makan.

Nelpon penginapan Salassa di Tanjung Bira untuk konfirmasi ulang dan tanya sopir angkutan yang biasa antar orang2 ke Tanjung Bira. Tapi... ongkosnya terlalu mahal. Rp 300.000 untuk mengantar dari pool bus di Makassar sampai ke Tanjung Bira. Ya mending cari angkutan umum aja deh.

Makan, mandi dan beres2. Udah siap nih mau ke pool bus. Tiba2 ada ngetok pintu. Dan inilah awal kejadian horor!

Saya pikir ada petugas penginapan yang mau tanya2 saya buka pintu. Ternyata laki2 yang tadi mengetok pintu. Agak aneh juga sih pertanyaan2nya. Untuk menghindari hal2 yang gak diinginkan pintu kamar saya buka dan saya menemui orang itu di pintu kamar. Gak lama kemudian datang lagi satu laki2 yang gayanya lebih tengil bin genit! Saya mencium ada yang gak beres nih. Untung saya sudah siap mau berangkat dan sudah membayar penginapan di muka. Jadi bisa langsung pergi kalo situasi udah semakin gak aman.

Setelah basa basi yang gak mutu. Saya pamit untuk pergi ke pool bus. Sumpah! jangan pernah ke tempat itu deh. Apalagi untuk perempuan.

Pas di depan penginapan ada semacam bentor saya langsung naik tanpa nengok2 ke belakang. Hiy... serem bener itu penginapan.

Bentor berenti di depan pool bus Litha. Setelah membayar, saya sempat tanya ke pengemudi bentor, apakah tempat saya berangkat tadi tempat yang bener alias tempat mesum. Dan.... Bapak itu bilang iya! OMG, nyaris aja...

Gak lama, ujan turun deras banget. Salah nih, saya gak bawa tas kecil untuk tentengan. akhirnya sementara menunggu bus siap berangkat, saya jalan2 sekitar pertokoan untuk beli tas kain. Di tempat saya beli taplak tadi, mahal banget. Jalan lagi dan dapat yang lebih murah. Lumayanlah untuk tempat makanan dan minuman.

Tepat jam 20.00 bus berangkat. Tapi kali ini bus tidak penuh ada beberapa bangku yang masih kosong. antara setengah tidur saya merasa bus ini muter2 nyari penumpang. sama seperti perjalanan dari Makassar, perjalanan kali ini pun diisi dengan tidur :D.

Journey to The East - Sulawesi Selatan (Day 1)

9 Maret 2014
Jakarta - Makassar - Rammang Ramman
    • Citilink pp termasuk bagasi 20kg Rp 113.300
    • Jakarta - Makassar - Citilink QG 712 ETD 05.55 ETA 09.25
    • Taxi dari rumah ke Gambir Rp 15.000
    • Damri dari Gambir ke bandara Soetta Rp 30.000
    • Airport Tax Soetta Rp 40.000
    • Ojek untuk keluar bandara Hasanuddin Rp 20.000
    • Pete2 dari luar bandara Hasanuddin - depan jalan ke pabrik semen Bosowa Rp 10.000
    • Perahu ke Rammang2 Rp 50.000 (kalo sewa perahu sendirian Rp 150.000/perahu kecil)
    • Pete2 dari Maros ke Daya Rp 8.000
    • Pete2 dari Daya ke Jl Petarani Rp 3.000
    • Pete2 dari Jl Petarani ke Jl Urip Sumoharjo Rp 4.000
    • Tiket bus Litha (VIP AC) Rp 120.000
    • Pete2 dari Jl Urip Sumoharjo ke Pasar Sentral Rp 4.000
    • Pete2 dari Pasar Sentral ke Pantai Losari Rp 4.000
    • Mie Titi Rp 21.000
    • Pete2 dari Pantai Losari ke Lapangan karebosi Rp 4.000
    • Pete2 dari Lapangan Karebosi ke Jl Urip Sumoharjo Rp 4.000
      Akhirnya hari eksekusi datang juga. Setelah beli tiket promo dari Citilink pada bulan Agustus 2013 dengan harga Rp 113.000 pp sudah termasuk bagasi 20 kg, hari ini saya berangkat ke Makassar sendirian. Berbekal berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber mengenai tempat2 yang akan dikunjungi, transportasi umum, kondisi dan budaya di tempat2 yang akan dituju serta peta kota Makassar maka saya memberanikan diri untuk berangkat.

      Dan ini adalah kali pertama saya berpergian dengan melindungi diri saya dengan membeli asuransi perjalanan. Yah... kalo dbaca dari klausul2nya sih, banyak yang tidak dijamin; seperti jika terjadi kecelakaan, apabila kendaraan yg digunakan tidak memiliki izin sebagai kendaraan umum tidak akan diganti. Kecelakaan saat beraktivitas ekstrim juga tidak akan diganti. Tapi paling enggak, kalo kecelakaan saat naik kendaraan berizin kan terjamin untuk evakuasi kecelakaan dan reaptriasi jenazah. Ih... amit2 deh!

      Asli benar2 pergi seorang diri dari mulai berangkat dari rumah. Sebetulnya Mama sudah menawarkan untuk mengantar saya ke Gambir karena khawatir belum ada ojek atau kendaraan lain mengingat saya berangkat dari rumah jam 02.30. Tapi saya tolak. Toh pasti ada kendaraan dari depan rumah, entah itu ojek, bajaj atau bahkan taxi.


      Bener aja, pas berangkat gak ada ojek yang biasa mangkal di dekat kompleks rumah, akhirnya jalan sedikit ke arah Jl Dr Sutomo. Saya tidak beruntung karena satu2nya ojek yang mangkal disana baru saja pergi. Coba nawar bajaj eh dia minta Rp 15.000 ya kalo gitu mending naik taxi deh.

      Sebetulnya argo di taxi gak sampe Rp 10.000 tapi saya kasih aja Rp 15.000. Nyampe di Gambir udah nyaris jam 03.00, bus Damri udah penuh & nyaris berangkat. Untung masih keangkut.

      Enaknya berangkat pesawat paling pagi tuh lama tempuh dari Gambir ke bandara bisa diprediksi; 45 menit nyampe! Juga pesawat jarang delay. Entah karena masih pagi dan gak macet, bus Damri ini gak lewat PRJ dan tol Kemayoran melainkan melewati Mangga Dua Square dan lewat tol Ancol.

      Udah lama banget gak pergi dengan pesawat melalui terminal 1 bandara Soekarno Hatta. Walaupun masih gelap, terlihat sudah banyak calon penumpang. Ih... gimana tambah siang ya? Pasti udah kayak terminal bus nih terminal bandara. Sistim Citilink ini aneh deh. Kan saya sudah melakukan web check in mestinya kan tinggal attached stiker bagasi dan kupon airport tax nah... ini mah enggak. Jadi di counter check ini saya dapat print boarding pass sementara boarding pass yang saya print dari web check ini jadi gak terpakai. Sama aja buang2 kertas dan gak hemat dong. Oiya, kalo saya dapat fasilitas bagasi, semua barang bawaan walaupun itu berupa ransel pasti saya masukin ke bagasi. Males ribet. Mending bawa tas kecil aja ke dalam pesawat.

      Pemandangan di terminal 3 ini unik loh. Gak jauh dari counter check in terlihat sekumpulan orang sepertinya jemaah umrah yang transit duduk di lantai di pojokan. Juga tercium semilir wangi minyak angin. Pas naik mau ke gate keberangkatan di eskalator ada Ibu2 yang terpeleset. Duhhh...

      Saya perhatikan sudah banyak pesawat rute domestik yang berangkat sebelum jam keberangkatan saya. Pada boarding pass, keberangkatan melalui gate 3 namun saya liat di layar elektronik terpampang gate 6. Waduh mana yang bener nih. Saya saya tanya di gate 6 mana yang bener, eh petugas yang jaga disana bilang ikutin yang di boarding pass. Akhirnya saya ke gate 3. Setelah shalat subuh dan makan pagi dengan bekal yang dibawa dari rumah saya nunggu di gate 3. Ada penerbangan yang tiba2 gate keberangkatannya berubah saat boarding dan terlihat beberapa calon penumpang terlari2 menuju gate yang dimaksud. Juga sempat memperhatikan cabin crew dari Citilink untuk beberapa peneerbangan. Pilotnya WNI berumur sekitra 40-50an tahun tapi co-pilotnya masih muda, bule pula :P. Pramugari yang berambut panjang dikuncir ekor kuda.

      Bener aja, kejadian yang sama menimpa penerbangan saya. Saat boarding mendadak dipindah ke gate C7. Agak terlari2 deh secara lumayan jauh.

      Pesawat take off dan landing dengan mulus. Juga tidak terasa sakit di kuping selama penerbangan. Biasanya kalo saya naik maskapai ini, selalu merasakan sakit kuping dan pengang.

      Makassar


      Pesawat sampai tepat waktu. Ke toilet dulu bersih2 dan nanya2 transportasi keluar sama petugas cleaning service. Ternyata pilihan transportasi untuk keluar dari bandara ini adalah bus DAMRI, taxi, dijemput atau naik ojek.


      Keluar bandara Sultan Hasannudin ke Circle K beli minum & beli rokok untuk di TaTor. Petugasnya gak tau rokok yang biasanya di taro di pemakaman TaTor & gak tau jumlahnya (per batang atau per bungkus). Ih... gimana sih, katanya mau memajukan pariwisata. Di kios ini juga sekalian nanya transport keluar bandara. Gak ada angkot, naik ojek 20rb-25rb. Sempat nanya, kalo di Makassar taxi yang direkomendasiin namanya apa dan dijawab Bosowa Taxi. Saya lupa tanya temen sebelumnya.


      Rammang Rammang

      Saya naik ojek keluar bandara Hasanuddin Rp 20.000 setelah nawar dari Rp 25.000. Ada Ibu2 yg mau ke arah Pangkep ngasih tau harus naek pete2 yg mana. Juga dibantu sama Ibu2 itu nyetop pete2 dan nanya apakah lewat depat pabrik semen Bosowa karena gak semua pete2 lewat sana. Makasih ya Bu...


      Liat huruf2 partai Hanura 10 gede banget di persawahan di daerah Maros. Naek pete2 sampe depan jalan masuk ke pabrik semen Bosowa. Jalan ke dermaga lumayan jauh mana panas lagi udah gitu jalannya berdebu dan banyak truk besar berseliweran. Tau gitu naek ojek deh. Dermaganya gak keliatan karena letaknya turun dari jalan raya.

        Ada beberapa orang nunggu di dermaga, pas ditanya dan ternyata mereka mau keliling Ramang2 juga, nanya apa boleh ikutan share cost. Dijawab boleh dan ternyata mereka total sekitar 13-14 orang dari PT Coca Cola Amatil cabang Makassar. Akhirnya berangkat dengan 3 perahu motor; 2 perahu kapasitas 3 orang selebihnya dalam 1 perahu besar.

      Dengan perahu kita menyusuri sungai Pute dengan hamparan bukit kapur/karst yg hijau ditumbuhi pohon2. Perpaduan antara nyusur sungai di Cigenter (Ujung Kulon) yang dikiri kanannya banyak pohon dengan Green Canyon (Pangandaran) dengan batu2an. Melewati 3 jembatan bambu yang kalo perahu lewat, penumpang di perahu harus nunduk kalo gak bakal nabrak itu jembatan.


      Mampir di desa Berua. Katanya sih masyarakat desa Berua ini menghidupi dirinya dengan bertani dan bertambak ikan. Disini kita bisa merasakan jalan di pematang persawahan juga ada tambak ikan.



      Dari Rammang2 nebeng mobil salah satu rombongan CCA turun di Maros lanjut naik pete2 dan turun di terminal Daya.

      Duuhhh... rasanya pengen turun deh waktu liat toko makanan yang jual roti Maros. Konon kabarnya, roti terenak di Maros. Tapi secara inget, menurut informasi saat perjalanan dari Makassar ke Tana Toraja pasti lewat Maros dan akan mampir di restoran yang juga jual roti Maros, jadi ya udah nunggu ntar malem aja juga karena ngejar waktu untuk gak singgah2 di tempat di luar jadwal.


      Makassar (lagi)


      Nyambung pete2 untuk ke arah Jl Urip Sumoharjo untuk beli tiket bus ke Tana Toraja nanti malam. Salah turun atau tepatnya kelewatan untuk beli tiket bus Litha & Co. terpaksa naik pete2 balik lagi. Ternyata yang punya atau anaknya yg punya PO bus Litha ini lagi mencalonkan diri jadi anggota dewan. Noh... giant signage-nya persis di depan pool bus.


       

      Jadi untuk keberangkatan malam ada 4 bus; Non AC (20.00 - Rp 100.000), AC VIP (21.00 - Rp 120.000), Master 1 (21.30 - Rp 140.000) dan Master 2 (22.00 - 170.000). Diwanti2 untuk dateng 1/2 jam sebelumnya. Dari PO Litha ke pantai Losari tapi harus turun di Sentral dan ganti pete2 ke Pantai Losari. Sopir pete2 sih bilang lebih baik nanti malam saat mau ke pool bus mending naik taxi karena lebih aman daripada naek pete2 dan harus berganti pula. Tapi pas ditanya nama taxi yang direkomendasiin/taxi yang gak macem2 eh dia bilang semua taxi baik. Gak percaya deh.



      Menyusuri sepanjang pantai Losari dan benteng rotterdam yang rame banget. Ternyata lagi ada acara partai Golkar. Gak asik untuk foto2. Blusukan nyari yang namanya jalan Datu Museng yang katanya banyak makanan khas yang enak2 disana. Ternyata jalan Datu Museng itu daerah wisata kuliner yang tempatnya persis di seberang pantai Losari. Noh... gerbangnya aja ada tulisan "wisata kuliner". Mampir untuk makan Mie Titi. Eh porsinya banyak loh. kalo gak lapar2 banget mending beli 1/2 porsi. Etapi bisa gak ya? Pengen nyoba makan seafood di Lae Lae deket Mie Titi tapi udah kenyang. Katanya sih enak dan harganya murah.




      Nyusur pantai Losari (lagi) yang tambah sore tambah rame dan tambah macet. Nyari tempat penginapan yg bisa sewain kamar mandinya aja ternyata gak ada. Akhirnya numpang mandi di mesjid. Gak nyaman karena terburu2 tapi mending lah berasa seger.




      Dari pantai Losari gak ada pete2 yg langsung ke Jl Urip Sumoharjo tapi harus turun di lapangan Karebosi dan ganti pete2 yang ke Jl Urip. Udah banyak calon penumpang yang nunggu di pool bus Litha & Co. Karena datang kecepetan jadi bisa nge-charge HP dan BB. Lumayanlah...

      Busnya cukup nyaman dengan formasi 2-2, tempat duduk reclining dan ada bangku tambahan untuk kaki juga ada selimut dan bantal kecil. Emang sih selasarnya sempit, jadi ribet kalo mau mondar mandir. Tepat jam 21.00 bus berangkat.

      Ternyata pupus sudah harapan untuk makan roti Maros. Bus ini bablas gak berenti di restoran. Berenti sekitar 2-3x tapi di terminal untuk angkut penumpang. Yah... tau gitu tadi pagi disempetin mampir deh.