Pages

Saturday, April 12, 2014

Journey To The West - Sumatera Barat (Day 3)

Sabtu, 5 April 2014
Padang - Jakarta

Citilink QG 971 ETD 20.10 ETA21.55
  • Lemper dan es cokelat di Chris dekat klenteng
  •  Christine Hakim Rp 67.000
  • (2 keripik balado @Rp 16.000, 2 dakak tipis @ Rp 12.000, 1 dakak tebal Rp 11.000)
  • 2 keripik balada Nan Salero @ Rp 17.000
  • Tiket masuk Museum Adityawarman Rp 2.000
  • Shirley Rp 78.000
  • (3 keripik balada @ 15.000, 3 dakak tipis @ 11.000, 1 dakak tebal Rp 11.000)
  • Nan Salero (2 keripik balado @17.000)
  • Es Duren Ganti Nan Lamo
  • Makan siang di Sari Raso
  • DAMRI Taman Melati - bandara Minangkabau Rp 22.000
  • Airport tax Rp 35.000
  • Makan malam di bandara Minangkabau Rp 24.000
  • DAMRI Jakarta Rp 30.000
  • Mikrolet Indosat - rumah Rp 5.000
Sekitar jam 1an dini hari saya dengar suara ramai. Sepertinya ada beberapa orang datang dan menginap di kamar dorm sebelah. Saya ikutan kebangun karena mau mindahin kabel2 isi ulang batere kamera dan ponsel.  Kayaknya sih 3 atau 4 orang deh. Karena kamar dorm ada penghuninya, berarti kamar mandi diatas tidak dapat saya gunakan. Gak pa2 juga sih, kan saya jarang2 ke kamar mandi :D

Tidak seperti di Bukittinggi, di Padang terlebih di tempat saya menginap tidak terdengar suara adzan. Tapi secara alarm tubuh sudah otomatis bangun sekitar jam 5an pagi, ya gak bisa tidur lagi. Setelah menunggu sampai matahari muncul sedikit, saya keluar penginapan untuk jalan2 pagi.

Pondok

Sayangnya dari depan penginapan tidak ada angkutan umum yang ke arah Pondok, terpaksa deh jalan kaki. Kalau semalam saya berbelok ke kiri dari kedai es duren Ganti Nan Lamo, kali ini saya berjalan lurus yang ternyata di ujung jalan adalah area Pondok juga.

Dan di ujung jalan saya berbelok ke kiri. Eh kedai Om Chris tempat semalam saya menikmati kopimil ternyata buka juga disini. Selain kedai Om Chris juga beberapa kedai di sampingnya juga sudah buka. Kebanyakan sih mereka menyiapkan makanan untuk sarapan. Ah... kalo ngomongin pecinan mah, gak ada matinya deh untuk makanan. Selalu tersedia searah jarum jam.

Di dekat sini juga ditemukan toko oleh2 Nan Salero, yang katanya nih keripik singkong balao-nya gak kalah enak dengan merk kondang lainnya.

Di kedai Om Chris ini saya memesan es cokelat dan ngemil lemper. Es cokelatnya endeus bo... Entah kenapa minuman cokelat dan kopi milo disini terasa enak banget. Setelah saya perhatikan, bungkus sachet dari cokelat bubuk dan milo berbeda dengan yang saya biasa lihat demikian juga SKM yang digunakan kemasannya beda. Hmmm... sepertinya mereka menggunakan barang2 import tuh. Pantesan rasanya beda.

Kelar dari Om Chris saya mampir ke toko oleh2 Nan Salero untuk membeli keripik singkong balado. Untuk dibandingin rasanya dengan merk lainnya :D.

Melanjutkan perjalanan, di daerah Pondok ini banyak sekali ditemui rumah perkumpulan keluarga China yang memiliki nama marga yang sama. Juga ada klenteng, pada akhirnya saya tau klenteng ini tidak digunakan lagi karena rusak berat saat gempa Padang.

Berkeliling di daerah Pondok. Rupanya kopimil memang menjadi minuman favorit disini. Terlihat di beberapa tempat tumpukan sachet bekas pembungkus milo.

Hanya mengikuti kemana kaki melangkah, eh... saya menemukan rumah tua; diatasnya tercetak angka 1908. Wow... Sayang... kondisi rumah ini dalam keadaan tidak terawat. Kusam, kotor dan kaca jendelanya banyak yang pecah. Di sekitar rumah itu kelihatan banyak bangunan tua tapi sepi. Dibelakang rumah tua itu adalah.... bukit!

Cukup sudah saya tercengang di Pondok, sekarang waktunya meneruskan ngubek sekitar. Nah kali ini pulang lewat rute yang semalam. Lewat pasar Tanah Kongsi. Seru... Selalu suka sama pasar tradisional terlebih yang berada di pecinan. Sayur, buah, ikan dll. Oiya, disini juga dijual bermacam makanan/jajanan. Saat ngubek pasar Tanah Kongsi ini, teman saya sewaktu kerja di hotel dan saat ini berdomisili di Padang menelepon dan mengajak ketemuan. Okesip, agak siangan kita akan ketemu. Eh dia kaget loh waktu saya bilang saya lagi keliling pasar pagi2 :D

Jembatan Siti Nurbaya, Jalan Nipah dan Jalan Batang Aur

Jalan terus sampai melewati penginapan. Sekarang menuju Jembatan Siti Nurbaya. Jalan sepanjang menuju jembatan Siti Nurbaya bernama jalan Nipah



Di dekat jembatan Siti Nurbaya terdapat toko oleh2 Christine Hakim. Banyak orang berolah raga/jalan kaki yang melintas di jembatan ini. Menyeberang jembatan Siti Nurbaya terdapat kota tua jalan Batang Aur. Mirip2 di daerah sekitar kota tua Jakarta dan disini juga ada gedung Bank Indonesia juga bangunan tua yang saat ini digunakan sebagai gudang perbekalan/logistik TNI AD Bukit Barisan.



Pulangnya saya mampir ke toko Christine Hakim untuk membeli keripik singkong balado dan dakak. Dakak adalah potongan atau irisan singkong yang digoreng kereng dengan berbagai bumbu. Ada 2 macam dakak; berbentuk kotak seperti dadu atau irisan tipis. Walaupun bebentuk kotak, namun dakak tersebut tidak keras. Saya suka banget dakak yang irisan tipis daripada singkong balado secara gak pedes sih...

Sampai penginapan saya tanya apakah disediakan sarapa dan dijawab iya. Saat saya masuk, ternyata rombongan yang semalam sampai di penginapan sudah keluar. Saya lihat ada satu tamu perempuan bule yang menginap di kamar bawah. Berarti saya bisa pakai kamar mandi diatas dong :D

Selesai mandi saya ngepak barang2. Karena nanti saat teman saya menjemput saya akan sekalian check out tapi masih menitipkan barang2 di resepsionis. Sarapan sudah tersedia berupa pancake dan potongan pisang serta beberapa potong pepaya, semangka dan nanas.

Kelar sarapan dan beberes, saya keluar rumah lagi. Kali ini tujuannya jalan Diponegoro. Penginapan ini memanglah angat strategis. Cuma selemparan batu untuk ke pantai Padang. Tapi pasir di pantai Padang ini gak keren karena berwarna cokelat seperti di Pangandaran.

Museum Adityawarman

Di jalan Diponegoro terdapat museum Adityawarman yang berisi busana tradisional pengantin dari tiap wilayah beserta dengan jenis makanan hantaran yang dibawa saat acara pernikahan juga ditampilkan aneka senjata tradisional dan rumah adat tiap wilayah.



Oiya, jika hendak menggunkan bus DAMRI dari kota Padang menuju Bandara Internasional Minangkabau, calon penumpang menunggu di Taman Melati yang terletak di depan museum Adityawarman ini. Dan persis di seberang museum Adityawarman adalah toko oleh2 Shirley. Saya membeli beberapa keripik singkong balado dan dakak di sini. Dan karena makanan yang saya beli cukup banyak, maka saya minta untuk dikemas dalam kotak kardus tapi tidak di lakban dulu karena saya akan memasukkan barang2 lain ke dalam kardus tersebut. Sekalian bagasi lah... :D

Tidak jauh dari museum Adityawarman, di jalan Bundo Kanduang terdapat hotel Axana yang dulunya bernama hotel Ambacang yang luluh lantak ketika Padang diguncang gempa pada tahun 2009. Di jalan ini juga ada hotel Bumi Minang yang bentuk depannya seperti rumah gadang.

Es Duren Ganti Nan Lamo

Puas keliling disini saya kembali ke penginapan. Packing terakhir dan cek ulang semua barang. Setelah beres, saya check out tapi menitipkan backpack dan kardus makanan. Kemudian saya melanjutkan jalan ke daerah Pondok (lagi). Kali ini mau nyobain Es Duren di Ganti Nan Lamo. Saya juga janjian sama teman saya di tempat ini.

Itu es duren emang mantap bingits deh. Full durian yang dihaluskan. Restoran ini juga menyediakan menu lain selain yang berbau durian, bahkan ada empek2 juga loh. Untuk harga saya gak tau karena ditraktir sama teman saya :)



Gak lama kemudian teman saya beserta adik iparnya datang. Wah... bakalan seru nih ngobrolnya. kahirnya kita bertiga keliling kota Padang dengan mobil teman saya. Kita gak mampir ke pantai Air Manis tempat batu Malin Kundang karena menurut teman saya, gak terlalu bagus untuk dikunjungi apalagi waktu saya terbatas.

Lewat ke pelabuhan Teluk Bayur dan jalan melingkar bukit dengan sisi seberangnya adalah pantai. Cantiiikkk...

Menuru teman saya, ada 2 pelabuhan di Padang; Teluk Bayur dan Muara. Banyak orang2 yang akan ke Mentawai melalui pelabuhan Muara. Hari beranjak siang dan teman saya menawari kita makan siang di restoran Padang tapi tidak otentik. Artinya rasanya tidak terlalu pedas. Akhirnya kita terdampar di restoran Sari Raso di jalan Karya dekat soto Padang Simpang Karya.

Sepertinya teman saya dan keluarganya langganan restoran ini karena beberapa pelayan sudah kenal dengan teman saya dan adik iparnya dan tau menu favorit teman saya. Saya terkejut karena beberapa pengunjung restoran ini ternyata kenal teman saya! Sampai saya tanya apakah teman saya ini sering beredar di wilayah Padang sehingga banyak orang kenal? Tapi dia jawab kekerabatan di Padang sangat erat apalagi di kalangan warga keturunan. Dari generasi terdahulu sampai generasi sekarang nyaris semua orang saling kenal. Begitu juga dengan iparnya. Walaupun lahir dan besar di Jakarta tapi leluhurnya asli Padang, bahkan keluarganya memilihi toko oleh2 keripik singkong balado yang cukup terkenal di Padang.

Waktu saya bilang toko oleh2 itu juga nama jalan di Padang, teman saya kaget karena saya bisa sampai ke jalan itu. Ya saya bilang kan saya naik angkutan umum yang keliling kota seperti city tour :D

Aneka makanan hadir dalam piring2 kecil seperti layaknya di restoran Padang. Voila... semua bisa saya makan karena gak pedas. Udah gitu enak semua lagi :P. Oiya, salah satu jus yang disediakan di restoran ini adalah jus merah putih yang terdiri dari buah pinang dan sirsak.

Selama kita makan siang, diluar ternyata hujan besar dan Alhamdulillah setelah selesai makan hujan berhenti. Sempat mampir sebentar ke rumah teman saya untuk mengambil bunga yang akan ditebar di laut karena saat saya ke Padang masih dalam suasana Ceng Beng, ziarah ke makam para leluhur. Dan kakek teman saya ini meninggal kecelakaan pesawat Merpati di pantai Padang pada tahun 1971.

Ngobrol2 dengan teman saya, leluhurnya yang lain di makamkan di daerah perbukitan yang harus sedikit trekking saat ziarah. Menurut orang Cina, ada keyakinan tempat.lokasi pemakaman itu sebaiknya menganut filsafat bersandar ke gunung menghadap ke laut.

Setelah tadi hujan, kota Padang berubah menjadi panas cetar membahenol. Dan di beberapa jalan utama di Padang ada kemacetan juga walaupun tidak separah di Jakarta dan macet di Padang pada jam2 masuk dan pulang kantor ini lebih disebabkan karena banyak angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat.

Teman saya ini juga akan mengantar saya kembali ke penginapan loh. Dan kejutan lainnya adalah restoran ayam penyet yang semalam nyaris saya singgahi ternyata milik dia!

Duuuhhh.... makasih banyak yah. Saya berasa seperti turis hari ini tapi tanpa bayar. Ditraktir es duren dan makan siang, keliling city tour dengan mobil keluaran baru plus diantar sampai kembali ke penginapan.

Saat saya sampai di penginapan, hujan turun lagi yang membatalkan niat saya untuk foto2 di pantai Padang dan ke jalan Nipah demi mengejar si Milo Dinosaurus.

  Akhirnya berakhir sudah petualangan saya keliling sebagian wilayah di Sumatera Barat. Saya menuju Taman Melati untuk naik bus DAMRI menuju BIM.

Friday, April 11, 2014

Journey To The West - Sumatera Barat (Day 2)

Bukittinggi - Batusangkar/Pagaruyung - Sawahlunto - Padang
Jumat, 4 April 2014
  • Angkot penginapan - RS Stroke Rp 3.000
  • RS Stroke - terminal Aur Kuning Rp 3.000
  • Elf Bukittinggi - Batusangkar Rp 10.000
  • Ojek Batusangkar - Istano Basa Pagaruyuang Rp 10.000
  • Tiket masuk Istano Basa Pagaruyuang Rp 7.000
  • Ojek Istana Pagaruyung - nunggu Elf ke Sawahlunto Rp 10.000
  • Elf Pagaruyung - Sawahlunto Rp 12.000
  • Tiket masuk Loebang Mbah Soero Rp 8.000
  • Tiket masuk Museum Goedang Ransoem Rp 4.000
  • Tiket masuk Museum kereta api Sawahlunto Rp 3.000
  • Elf (Jasa Malindo) Sawahlunto - Padang Rp 18.000
  • Angkot turun dari elf - Pasar Lama Rp 3.000
  • Angkot Pasar Lama - Jembatan Siti Nurbaya Rp 3.000
  • Guest house Brigitte's House --> dipindah ke New Padang House Rp 100.000
  • Kopi Milo depan HBT Rp 8.000
  • Makan malam ikan bakar Pak Tris Rp 87.000
Bukittinggi

Hari masih gelap ketika saya bangun. Terdengar suara adzan subuh. Langsung wudhu untuk shalat subuh. Brrr... dingin bingits! Karena semangat pengen ngubek Bukittinggi yang mengalahkan dinginnya air. Setelah shalat subuh, saya beres packing, biar sepulang dari jalan2 pagi dan mandi gak perlu ribet packing lagi.

Tapi kog gak lama kemudian kedengeran adzan lagi ya? Kog bisa 2x gitu? Ternyata setelah saya perhatian, yang beneran subuh tuh adzan yang kedua sementara adzan yang pertama kali saya dengan adalah untuk membangunkan orang2 bersiap untuk shalat subuh. Seperti di Mekkah gitu. Adzan di setiap waktu shalat dikumandangkan 2x. Pertama untuk membangunkan atau agar orang bergegas ke mesjid yang kedua baru adzan untuk bersiap shalat.

Setelah matahari muncul sedikit, saya langsung keluar penginapan untuk ngider :D.

Kali ini rutenya menyisir mulai depan hotel Antokan. Eh ini hotel juga direkomendasiin untuk backpacker loh. Tapi untuk saya mending di hotel Jogja deh. Jalan lurus sampai ketemu pasar; entah apa nama pasar itu. Lanjut jalan sampai ketemu persis di depan Pasar Wisata. Bangunannya bertingkat. Entah apa yang dijual di pasar ini. Kemarin sih sempat lewat sini pas mau ke kebun binatang tapi kog sepi2 aja ya?

Balik ke arah hotel Jogja dan terus jalan. Eh nemu kantor pos yang gedung kantornya berupa rumah gadang. Keren loh. Tadinya kalau deket, mau jalan sampaik rumah sakit stroke tapi keliatannya jauh deh. 

Akhirnya balik badan menuju jam gadang. Wow... pemandangan pagi hari dari area jam Gadang gak kalah cantik! Kota Bukittinggi yang dikeliling dua gunung; Marapi dan Singgalang nun di kejauhan. Gambaran gunung berwarna biru (karena jauh kali ye...) yang terlihat semburat kabut di badannya. Eh meleng dikit, hilang itu gunung tertutup kabut.

Eh ada yang lucu nih, di Bukittinggi (entah kalau di tempat lain di Sumatera Barat) rumah makan beda artinya sama restoran. Saya lihat di depan Simpang Raya disitu terpampang Rumah Makan dan Restoran Simpang Raya. Nah... bingung kan? Ternyata gak cuma Simpang Raya tapi dalam perjalanan saya menuju terminal Aur Kuning pun saya menemukan hal yang sama di lain rumah makan.


Matahari semakin tinggi itu berarti sudah waktunya sapa kembali ke hotel. Karena gak nemu makanan berupa nasi dan lauknya untuk sarapan, saya makan roti yang dibeli semalam.

Yang tadinya rencana mau meninggalkan hotel sepagi mungkin jadi lah baru berangkat jam 8an pagi. Kesiangan deh :(

Dari seberang penginapan saya naik angkutan umum sampai depan rumah sakit stroke. Penasaran nih jadi mampir sebentar. Dari situ lanjut dengan angkot ke terminal Aur Kuning untuk naik angkutan umum ke arah Batusangkar.

Bingung di terminal Aur Kuning. Secara gak tau  bus atau elf atau angkutan umum apapun yang menuju Batusangkar ngetem diman. Ternyata angkutan yang ke Batusangkar ada di dalam terminal. Jadi saya harus jalan dan masuk terminal. Hadeuh... pasti nunggu lama nih karena saya penumpang pertama yang masuk ke elf ini.

Batusangkar - Istano Basa Pagaruyuang

Akhirnya setelah menunggu selama nyaris 30 menit, elf pun berangkat. Terlihat di sekitar terminal Aur Kuning ini sedang ada pekerjaan jalananan entah perbaikan atau pembangunan jalan. Saya sangat menikmati perjalanan dari Bukittinggi menuju Batusangkar. Keren banget! Kelihatan gunung dan sawah. Belum lagi jalan yang meliuk2. Etapi jalannya mulus banget loh.

Lumayan jauh loh perjalanan ini, sekitar 1,5 jam. Satu per satu penumpang turun. Duuuhhh... saya gak tau harus turun dimana nih sementara sudah tinggal 2 penumpang termasuk saya yang tersisa. Saya langsung tanya aja sama Bapak penumpang lainnya, saya harus turun dimana kalau mau ke Istana Pagaruyung dan lanjut naik apa. Terima kasih ya Pak udah ditunjukin.

Untuk menuju Istana Pagaruyung saya harus naik ojek sesuai dengan informasi si Bapak tadi karena tidak ada angkutan umum yang menuju kesana. Bapak tadi juga bilang biasanya ongkos ojek sekali jalan Rp 10.000.

Di dekat saya turun dari elf memang ada pangkalan ojek. Saya langsung saja naik salah satu ojek dan bilang mau ke Istana Pagaruyung.

Saya berbelok ke Pagaruyung, saya lihat signage arah ke beberapa tempat dan untuk ke Pagaruyung harus menempuh 18 km. Whaaattt!!! Bisa masuk angin nih, naik motor sejauh itu.

Sepanjang jalan menuju Istano Basa Pagaruyuang, saya melewati ada rumah gadang yang besar dan megah, seperti istana. Juga saya melewati museum prasasti Adityawarman. Duuuhhh... tau gitu saya minta Uda ojeknya untuk berenti2 dulu deh.

Akhirnya sampai juga di depan Istano Basa Pagaruyuang. Uda ojeknya bilang, kalau nanti kembali mau dengan ojeknya saya tinggal telepon aja. Sempat tanya juga apakah ada angkutan umum yang langsung menuju Sawahlunto dan dijawab ada tapi harus keluar dulu dari Pagaruyung.

Alhamdulillah... bisa masuk ke istana ini. Sebelumnya saya khawatir istana ini belum dibuka untuk umum karena masih renovasi setelah terbakar akibat petir. Tapi dari info yang saya dapat istana ini sudah dibuka untuk umum sejak November 2013. Berarti belum terlalu lama dong.

Beda dengan rumah gadang seperti istana yang saya lihat sebelumnya yang memakai banyak warna, istana Pagaruyung ini hanya satu warna yaitu cokelat dan terlihat gagah berdiri. Setelah membeli tiket masuk, saya mulai melangkah menuju istana ini.


Setiap pengunjung diharuskan melepaskan alas kaki dan disimpan di tempat yang sudah disediakan. Istana ini terbuat dari kayu dan bertingkat 3. Di dalamnya penuh ornamen dari kain yang berwarna cerah, seperti pelaminan Minang. Eh disini juga bisa sewa baju adat Minangkabau loh.

Sempat curi2 informasi dari Bapak yang ada di pintu masuk, bahwa bangunan ini mempunyai satu tiang utama yaitu tiang yang pertama kali ditegakkan sebagai penopang rumah. Hanya tiang ini  yang berdiri tegak lurus, sementara tiang penyangga lainnya berdiri sedikit miring. Etapi kalau kita perhatikan, gak kelihatan loh kalo tiang2 lainnya itu miring. Hebatnya lagi, semua bentuk, ornamen dan ukiran di istana ini dibuat persis seperti asli; seperti istana sebelum kebakaran.

Kemudian saya lihat di halaman istana ini banyak umbul2 adat Minangkabau (yang disebut Marawa) yang berwarna hitam, merah dan kuning seperti bendera Jerman. Ternyata ketiga warna ini ada artinya loh. Masing2 warna melambangkan wilayah (luhak). Hitam untuk wilayah Limapuluh Koto, Merah untuk wilayah Agam dan Kuning untuk wilayah Tanah Datar.

Bapak itu juga bilang bahwa barang pusaka yang dulunya berada di dalam istana Pagaruyung ini sudah di pindah ke istana Silinduang Bulan. Hmmm.... jangan2 istana yang tadi saya lewatin itu istana Silinduang Bulan. Oiya, disamping istana Pagaruyung ini ada sebuah rumah gadang kecil yang ternyata itu adalah bangunan lumbung yang disebut rangkiang; tempat untuk menyimpan hasil panen.

Kelar keliling istana Pagaruyung, saya menelepon Uda ojek untuk menjemput saya untuk mengantar saya ke Batusangkar tempat menunggu angkutan umum ke Sawahlunto. Sebetulnya di seberang Istana Pagaruyung ini banyak tukang ojek yang mangkal, tapi tadi saya kan sudah janji mau pakai ojek yang sama.

Gak lama kemudian Uda ojek datang dan langsung ke Batusangkar. Etapi buka kembali ke arah saat saya datang melainkan lurus. Lumayan jauh juga loh, kurang lebih jaraknya sama seperti saya ke istana Pagaruyung.

Sampai di tempat pemberhentian elf, si Uda tanya apa perlu ditungguin sampai elf-nya datang langsung saya jawab gak perlu selama elf itu pasti lewat sini.

Saat saya sedang menunggu elf, tiba2 ponsel saya berbunyi. Ternyata dari Uda ojek. Dia cuma bilang elf yang ke Sawahlunto baru saja lewat, mungkin sebentar lagi akan sampai di tempat saya menunggu. Ya ampuuunnn... terharu saya, ketemu orang baik di tanah orang.

Beneran loh, gak lama kemudian elf yang dimaksud datang dan saya langsung naik.

Sawahlunto
Lobang Mbah Soero, Museum Kereta Api dan Museum Goedang Ransoem

Hari bertambah siang, pemandangan sepanjang Batusangkar menuju Sawahlunto gak seindah Bukittinggi ke Batusangkar. Tapi ada jalan yang keren banget! Jalan itu berupa turunan tajam yang juga tikungan tajam. Hiy... serem2 seru!

Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 2 jam, elf yang saya tumpangi sampai di Sawahlunto. Kalau tadi saya merasakan udara sejuk di Bukittinggi dan Batusangkar, kali ini saya merasakan Sawahlunto yang panas.

Sawahlunto ini kota tambang, tepatnya tambang batubara. Sebelum masuk ke Sawahlunto tadi saya melewati PLTU Ombilin. Panas terik cetar membahana saat saya sampai di Sawahlunto. Ini kaki bakalan belang deh :D

Tujuan pertama saya adalah ke museum kereta api. Jadi dari tempat saya turn dari Elf tadi menuju ke Pasar Sawahlunto yang terletak di seberang pool elf untuk menuju Museum Kereta Api.

Kayaknya saya datang ke Sawahlunto di saat yang kurang tepat deh. Iya, jadi pas saya nyampe tuh lagi jam shalat Jumat disambung istirahat yang jadinya lumayan lama. Semua museum tutup dan baru buka kembali sekitar jam 13.30. Duuuhhh... banyak waktu kebuang nih.

Koleksi yang terkenal dari Museum Kereta Api Sawahlunto adalah lokomotif yang bernama Mak Itam. Dan di hari dan jam tertentu diadakan wisata keliling Sawahlunto dengan menggunakan kereta wisata dan Mak Itam sebagai lokomotifnya dengan tarif yang terjangkau. Wuih... keren banget tuh. Sayang saya datang diluar jadwal operasi Mak Itam. Jadi gak kayak di museum kereta api Ambarawa, kalo mau wisata dengan menggunakan lokomotif uap harus sewa satu gerbong yang mahalnya gak ketulungan.

Di depan museum kereta api ini ada papan petunjuk objek wisata di Sawahlunto. Jangan salah, walaupun Sawahlunto itu kota kecil tapi disini ada wahana water boom juga loh... .


Dari sini saya langsung menuju Loebang Mbah Soero yang merupakan tambang batubara yang sudah tidak dipakai. Mbah Soero sendiri adalah mandor dari tanah Jawa yang dikirim bersama orang2 lainnya sebagai orang rantai (rante) untuk dijadikan buruh di tambang batubara di Sawahlunto pada masa penjajahan Belanda.

Di depan jalan masuk menuju tambang Mbah Soero, terdapat gedung perkantoran PT Bukit Asam, yang kalau dilihat dari bentuknya, ini pasti bangunan kuno. Jalan menuju Loebang Mbah Soero dan Museum Gudang ransum bukan jalan raya besar, melainkan jalan kecil tapi diaspal halus.

Sama seperti di Museum KA, disini pun masih tutup. Akhirnya jalan liat2 sekeliling, mana panas lagi. Ternyata di sekitar sini tuh memang kota tua. Terlihat ada gedung pusat kebudayaan Sawahlunto, hotel Ombilin, gedung koperasi Ombilin  dan beberapa bangunan tua peninggalan Belanda lainnya. Oiya, saya juga sempat melewati Societeit Cafe untuk sekedar ngopi dan leyeh2 yang lokasinya berdekatan dengan gedung pusat kebudayaan Sawahlunto. Ah... sayang waktu saya sangat terbatas, kalau tidak saya sudah memesan satu cangkir kopi di tempat itu.

Saya juga bertanya2 dengan penduduk setempat, travel atau kendaraan umum untuk menuju kota Padang. Dan ternyata ada! Saya menuju counter kecil Jasa Malindo, travel yang akan mengantar saya ke Padang. Orang yang saya ajak ngobrol bilang, beli tiket dulu sebelum jalan2 di Sawahlunto karena tiket mobil travel ke Padang untuk keberangkatan sore biasanya cepat habis terlebih di hari Jumat, hari terakhir kerja. Bergegas saya menuju tempat mangkal travel Jasa Malindo dan membeli tiket untuk keberangkatan yang agak sore setelah itu saya mulai menyusuri satu per satu objek wisata di Sawahlunto ini.

Kembali ke Loebang Mbah Soero yang untuk loket untuk membeli tiket masuknya berada di galery info box. Setelah membeli tiket, seorang pemandu - Pak Win - akan menemani saya. Tapi sebelumnya saya harus memakai sepatu boot dan helm. Sebelum masuk ke lubang tambang batu bara, di depan gerbang saya lihat Pak Win berdoa. Hmmm.... agak2 spooky nih.


Menurut Pak Win, semua pengunjung yang akan tour ke lubang Mbah Soero harus didampingi oleh pendamping. Ya iyalah Pak. Secara gelap dan seperti labirin gitu di dalam, ntar bisa2 nyasar kalau tanpa pemandu.

Semua komponen bangunan dari lubang ini masih asli; kayu dan besi. Untuk jalan memang sudah diplester agar tidak kotor dan licin oleh tanah. Kata Pak Win, sebelum ditemukan lubang ini tertimbun tanah dan didalamnya penuh dengan air. Jadi setelah dibersihkan dari tanah kemudian dikuras air didalamnya. Sepanjang perjalanan saya berdecak kagum karena saya berjalan diantara batubara dan bisa memgang dinding lobang yang terbuat dari batubara! 

Ada beberapa jalur di dalam lubang ini yang ditutup dan tidak boleh dilewati karena masih terendam air dan masih ada air mengalir di dalamnya. Memang lobang Mbah Soero ini lokasinya dekata dengan sungai Batang Lunto.

Jangan bayangkan da dalam lobang itu berasa sesak dan sumpek kurang oksigen loh. Jalan di dalam tambang walaupun kecil namun tidak sempit dan sirkulasi udara sudah disesuaikan bahkan terasa sejuk.

Pak Win sih gak ngomong yang aneh2 selama di dalam lubang tapi dari gerak tubuhnya, saya sepertinya melihat bahwa dia mau cerita sesuatu. Nanti setelah di luar lobang saya akan tanyakan dia.

Setelah kembali dari tour saya tanya2 ke Pak Win mengenai sejarah tambang ini. Dan benar saja, banyak kejadian pilu disana. Entah sudah berapa banyak buruh yang meninggal di dalam tambang ini. Ada yang terkubur longsor ada akibat disiksa.

Saya sempat bertanya kepada Pak Win, apakah tentara Belanda yang menyiksa para pekerja tambang dan dijawab bukan. Karena tentara Belanda gak akan berani masuk ke dalam tambang walaupun mereka bersenjata. Mereka pasti kalah jika dihadapkan dengan para pekerja tambang. Mereka hanya berjaga di luar tambang. Jadi siapa dong? Ternyata yang menyiksa adalah orang Indonesia sendiri yang dijadikan antek tentara Belanda. Semacam politik adu domba gitu.

Pak Win bilang, pengunjung yang memiliki indra keenam, biasanya gak mau untuk masuk kedalam lubang tambang. Hiy...

Setelah selesai dari Loebang Mbah Soero, saya melangkah ke Museum Gudang Ransum yang letaknya tidak jauh.

Museum ini pada jaman penjajahan Belanda digunakan sebagai dapur umum yang menyediakan makanan untuk pekerja tambang dan paramedis. Terlihat peralatan masak dalam ukuran jumbo. Di bagian belakang terdapat bangunan tempat tungku pembakaran yang gak kalah besarnya :D


Yang unik di salah satu bangunan di area belakang museum ini ada Galeri Melaka, yang berisi informasi  Melaka, Malaysia. Apa hubungannya ya kota Sawahlunto dengan Melaka?

Kelar berkeliling di Museum Gudang Ransoem,  saya melanjutkan ke Museum Kereta Api Sawahlunto dan gak sabar mau lihat Mak Itam, lokomotif uap koleksi museum ini.


Museum ini tidak terlalu luas dan ternyata garasi tempat Mak Itam berada di tempat terpisah dari museum ini dan gak ada tiket masuk untuk lihat Mak Itam! Yaelah... tau gitu tadi foto2 dulu si loko legendaris ini deh. Mak Itam dalam perbaikan karena kondisinya yang rudak akibat tersambar petir. Dengan begitu wisata berkeliling menggunakan kereta wisata dengan lokomotif Mak Itam juga untuk sementara ditiadakan.


Karena waktu yang sedikit, dari museum kereta api saya langsung ke pool travel. Ternyata mobil travelnya telat datang, yaaahhh... mending tadi mlipir ke Societeit Cafe dulu deh buat ngopi dan sekedar ngemil2. Sempet tanya2 sama petugas travel, bus terakhir akan berhenti dimana dan apakah masih jauh kalau mau ke jembatan Siti Nurbaya dan dijawab gak terlalu jauh. Okeh deh...

Eh inget2, hari ini saya belum makan siang loh secara gak liat kedai makanan yang gak pake menu Minang. Pantesan berasa agak2 kliyengan :D

Jalan antara Sawahlunto menuju Padang pun sama kerennya, masih meliuk2 gitu. Bahkan ada di satu titik dimana jalanan menurun sekaligus meliuk tajam. Seruuu...

Padang

Menjelang sore, bus masuk kota Padang. Ternyata dari tempat pemberhentian terakhir bus ke jembatan Siti Nurbaya tuh jauh banget! ah... salah nih kalo nanya sama orang lokal. Pasti dijawab deket padahal gak sesuai dengan kenyataannya.

Jadi dari tempat saya turun bus haru naik angkot menuju Pasar Baru dan dari sana ganti angkot untuk menuju jembatan Siti Nurbaya.

Sial, angkot yang saya tumpangi berhenti di tengah jalan dan dioper ke angkot lain gara2 mau muter. Ish...  sama aja kayak di Jakarta!

Waaahhh... saya salah turun! Tepatnya itu jembatan kelewatan malah udah nyaris sampai ke pelabuhan Muara. Jadi ikut muter angkotnya lagi deh dan turun di seberang jembatan Siti Nurbaya.

Nanya2 jalan Kampung Sebelah  tempat saya menginap di Brigitte's House. Untungnya kali ini gak pake nyasar tapi cukup gempor dengan jalan dan naik tangga menuju jembatan Siti Nurbaya. Akhirnya saya kesampaian berjalan kaki melewati jembatan Siti Nurbaya yang kondang itu. Eh jangan salah ya, jembatan tuh semacam jalan layang dan kalau sore hingga malam di trotoarnya banyak pedangan menjajakan aneka makanan. Pokoknya suasananya rame deh!

akhirnya sampai juga di Brigitte's House. Tapi apa yang terjadi sat saya tanyakan kamar saya??? Ternyata kamar yang disediakan untuk saya sudah diberikan kepada orang lain padahal nama saya masih tercantum di buku reservasi. Hadeuh... gimana nih? Udah sih capek dan lecek eh ditambah gak dapat kamar. Padahal saat saya memesan, saya sudah menawarkan untuk membayar dimuka untuk kamar yang saya pesan loh tapi dijawab bayar pas datang saja.

Sempat berdebat dengan petugas di penginapan, akhirnya saya dipindahkan ke penginapan lain yang masih satu pemilik dengan Brigitte's House yaitu New Padang House dengan kondisi dan harga yang sama seperti di Brigitte's. Saya bilang saya gak mau kalo penginapannya lebih jauh/blusukan ke dalam daripada Brigitte's, mereka bilang justru New Padang lebih dekat ke jalan raya. Syukurlah kalau begitu.

Voila... ternyata benar apa yang dibilang petugas di Brigitte's. New Padang dekat sekali ke jalan HOS Cokroaminoto ataupun ke jalan Nipah menuju jembatan Siti Nurbaya. Sangat strategis! Tuhan maha baik, selain letaknya yang sangat strategis, di penginapan ini dari semua kamar, yang terisi cuma 1 tamu yaitu saya.

Beda dengan di Brigitte's yang full house dan sebagian besar berisi tamu2 bule yang akan surfing ke pulau Mentawai di New Padang lebih sepi.

Setelah mandi, saya keluar penginapan untuk mencari makan malam dan jalan2 sekitar daerah tempat saya menginap.

Pokoknya malam ini gak mau makan dengan menu lokal! Di dekat penginapan terlihat ada restoran ayam penyet yang terkenal dan lainnya restoran ikan bakar. Naaahhh... saya mau seafood aja deh.

Makan malam di Ikan Bakar Pak Tris. Agak pricy sih makan disini tapi gak pa2 lah sekali2 manjain perut :P. Setelah kelar makan malam, saya melanjutkan jalan2 malam menuju daerah pecinan kota Padang yang lebih dikenal dengan sebutan Pondok.

  Kalau di sekitar jalan Cokroaminoto tempat saya menginap suasananya cukup sepi, di daerah pondok ini justru ramai. Terlihat restoran Ganti Nan Lamo yang sangat terkenal yang spesialisasinya menyediakan aneka menu minuman dengan duren.

Dari sini saya pengen sekali mencicipi kopimil di dekat klenteng HBT. Waduh.... kemana kaki harus melangkah nih, ternyata gak kelihatan bangunan yang menyerupai klenteng atau bangunan dengan ornamen Cina.

Akhirnya saya tanya2 orang dan masuk2 ke dalam gang dan.... ketemulah yang namanya kedai kopimil persis di seberang HBT!

Di daerah ini suasanya lebih ramai. Lebih banyak orang menikmati malam dengan makan dan minum yang dijajakan di sepanjang jalan. Juga banyak mobil dan motor yang berseliweran.

Jadi yang namanya kopimil itu dalah air kopi yang dicampur dengan Milo (cokelat) dan ditambahkan susu kental manis. Enaaakkk....

  Setelah menghabiskan satu gelas kopimil saya menyudahi perjalanan malam ini dan kembali ke penginapan sambil mengingat2 arah jalan yang harus masuk2 ke gang. Dalam perjalan ke penginapan, saya mampir di supermarket untuk membeli air minum. Sama seperti di Bukittinggi, di kota Padang ini juga gak ada tuh minimarket dengan nama yang sudah dikenal ada di mana. Yang ada hanya supermarket/minimarket lokal. Salut sama pemda Sumbar nih!

Oiya, kalau ada budget lebih, mending pilih kamar dengan AC karena di Padang lumayan panas. Memang sih di kamar yang saya pilih disediakan kipas angin tapi jadi kurang nyaman.

Thursday, April 10, 2014

Journey To The West - Sumatera Barat (Day 1)

Kamis, 3 April 2014
Jakarta - Padang - Bukittinggi

QG 972 ETD 07.35 ETA 09.20
  • Tiket Citilink CGK-PDG-CGK termasuk bagasi 20 kg Rp 113.300
  • Bajaj ke Gambir Rp 10.000
  • DAMRI Rp 30.000
  • Airport tax Rp 40.000
  • Tranex bandara Minangkabau - pool Tranex Rp 22.000
  • Tranex pool - Bukittinggi Rp 18.000
  • Angkot Pasar Aur - Jenjang Gudang Rp 3.000
  • Makan di Uni Lis Rp 23.000
  • 7 kerudung aneka sulaman & warna (harga bervariasi) Rp270.000
  • Hotel Jogja Rp 125.000/malam
  • Masuk Taman Margasatwa & Budaya Kinantan Rp 10.000
  • Masuk Rumah Adat Baanjuang Rp 2.000
  • Makan malam lesehan Rp 21.000
  • 2 roti @ Rp 7.000
Hai... hai... kali ini saya akan terbang ke wilayah barat Indonesia tentunya masih akibat beli tiket pesawat promo yang murah pada bulan Agustus 2013 dan lagi2 perjalanan seorang diri. Pastinya tetap dengan penerbangan pertama biar punya banyak waktu; yang berarti saya harus berangkat subuh dari rumah. Perjalanan kali ini nyaris batal karena seminggu menjelang keberangkatan, boss saya akan melakukan perjalanan dinas ke China yang tanggalnya masih berubah2.

Gak mungkin dong, dia belum berangkat saya sudah berangkat liburan duluan. Saat saya minta ijin cuti pun berat banget. Saya sampe bilang hanya akan berangkat jika Bapak sudah sampai di Nanchang (China). Jika sampai tanggal saya berangkat, Bapak dan team belum berangkat, berarti saya batal cuti.

Walaupun belum tau apakah bisa cuti atau tidak tapi saya sudah menyicil packing termasuk membeli peta kota Padang dan Sumatera Barat. Rasanya gak pede aja kalau berpergian tanpa peta. Lagipula peta kan berguna untuk melihat jarak dari satu lokasi tujuan wisata dengan lainnya. Biar gak bolak balik dan menghemat waktu. Asuransi peerjalanan pun sudah dibeli bersamaan saat saya akan pergi ke Sulawesi Selatan.

Alhamdulillah... hanya beberapa hari sebelum saya berangkat tanggal keberangkatan boss saya sudah ditentukan dan semua tiket (termasuk tiket domestik di China yang rada susah bookingnya) dan dokumen2 termasuk visa sehubungan dengan keberangkatan ke China sudah selesai.

Kali ini saya beruntung walaupun tidak ada ojek atau pun taxi yang membawa saya dari rumah ke stasiun Gambir untuk naik DAMRI ke bandara, tapi saya berhasil mencegat Bajaj dan naik ke Gambir dengan membayar Rp 10.000 :D

Saya jadi terbiasa kalau melalui Terminal 1 bandara Soekarno Hatta saat boarding akan pindah gate. Ternyata benar. Kali ini pun dipindah.

Sayang ya di Citilink gak bisa pesan makan untuk sarapan. Padahal kalo liat menunya di website sepertinya enak2 tuh. Pesawat berangkat tepat waktu begitu pula saat tiba di bandara internasional Minangkabau.

Padang

Padang.... I'm coming! Sempat bingung setelah keluar dari bandara. Saya harus naik apa ya untuk menuju Bukittinggi? Kata teman saya di  kantor, di bandara nanti banyak kog travel yang langsung ke Bukittinggi. Etapi saya gak liat orang2 naik travel. Yang saya lihar justru calo2 yang nawarin angkutan ke berbagai kota. Kalau saja ada penumpang lain dalam mobil yang menuju Bukittinggi, saya pasti ikut. Tapi ini mobilnya aja masih kosong. Gak mau lah.

Akhirnya saya memutuskan untuk naik bus Tranex. karena informasi yang saya dapat dari pool Tranex di Padang ada kendaraan Tranex yang langsung menuju Bukittinggi.

Ongkos Tranex ini Rp 22.000 tapi saat saya bayar dengan Rp 25.000 kog gak dikasih kembaliannya ya? Ya kalo gak ada uang kecil untuk kembalian, bilang dong. Kan kalo seperti ini saya merasa dicatut. Bukan jumlah uang kembaliannya yang jadi masalah tapi kejujuran itu yang saya catat.

Lumayan jauh jarah antara bandara ke pool Tranex yang melewati mall dan hotel Basco.

Sampai di pool Tranex saya beli tiket Tranex untuk ke Bukittinggi. Disini saya merasa dicurangi lagi. Harga tiket Rp 18.00 dan saya memberikan Rp 50.000. Masa' cuma dikasih kembalian Rp 30.000. Kebiasaan orang sini kali yang suka embat kembalian yang nilainya gak seberapa itu. Apalagi terhadap orang asing atau pelancong. Payah nih...

Jadi muter2 nih karena untuk menuju ke Bukittinggi akan melewati rute ke bandara. Memang benar, kalau ada angkutan umum dari bandara yang langsung ke Bukittinggi akan memperpendek jarak dan mempersingkat waktu.

Di tengah perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Dari Padang menuju Bukittinggi ada 2 rute yaitu melalui Sicincin atau melaui Padang Pariaman. Jalan menuju Bukittinggi berkelok2. Sayang saya menggunakan travel bukan mobil pribadi. Saat melewati lembah Anai, saya hanya bisa melihat dari kejauhan air terjun yang keluar dari tebing di lembah Anai.

Bukittinggi

Akhirnya hampir jam 1 siang sampai di Bukittinggi. Saya turun di dekat terminal Aur Kuning dan lanjut dengan angkutan umum menuju hotel Jogja. Melewati martabak kubang Hayuda. Duuuhhh... jadi pengen deh. Mungkin ntar sore bisa mampir ke sini.

Eh terus lewatin juga rumah sakit stroke nasional. Ealah... kog bisa ya rumah sakit berskala internasional ada disini. Kenapa? *jawabannya (menurut saya) ada setelah saya berkeliling Bukittinggi :P

Angkutan umum berhenti persis di depan penginapan saya, Hotel Jogja yang konon hotel ini merupakan salah satu hotel bersejarah dan berada tepat di bawah Jenjang Gudang, tangga menuju pasar atas, los lambuang dan... Jam Gadang! Penginapan dengan lokasi yang sangat strategis!

Setelah menyerahkan KTP, kunci kamar pun diberikan kepada saya. Saya dapat kamar  di depan, dekat dengan front desk. Kamar tidak dilengkapi dengan kipas angin atau bahkan AC. Disediakan sajadah di setiap kamar. Saat saya mencuci muka... brrrr.... dingin banget airnya. Mana gak pake shower dan air panas. Duuuhhh... kebayang besok pagi pasti lebih dingin lagi :(

Oiya, di Bukittinggi tidak ada minimarket/convenience store kondang seperti yang ada di kota2 lainnya. Hanya ada minimarket lokal. Tapi yang dekat dengan penginapan cukup besar dan lengkap.

Pasar Atas

Setelah beres2, saya bergegas meninggalkan penginapan menuju Pasar Atas untuk lihat2 kerudung dengan aneka warna dan teknik sulam. Hadeuh... kalap belanja kerudung di Pasar Atas. Padahal hanya di satu toko dan kepala saya tidak tertutup.

Akhirnya setelah lumayan lama memilih, 7 kerudung aneka warna dengan berbagai teknik sulaman berpindah dari Uni penjual ke tangan saya. Anggap aja ini sogokan buat Ibu saya biar ijin pergi2 diperlancar :D

Saya gak tertarik untuk beli mukena ataupun kain bahan baju dengan aneka sulam. Padahal warnanya bagus2 loh.

Los Lambuang

Selesai belanja aneka kerudung, saya menuju Los Lambuang yang masih dekat2 Pasar Atas ini. Ahai... akhirnya saya tau kenapa disebut Los Lambuang! Karena di tempat ini adalah tempat makan dan aneka jajanan. Semacam foodcourt gitu. Tapi foodcourt ini istimewa karena hampir semua counter menjual nasi kapau! Tinggal pilih mau yang mana. Namanya juga nasi kapau ya yang dijual nasi  dengan aneka lauk yang sebagian besar dimasak dengan santan dan pedas.

Saya pilih makan siang di kedai Uni Lis. Tempat makan di Uni Lis terlihat penuh saat saya datang. Bahkan ada seorang Ibu yang membawa 2 anaknya (kayaknya baru pulang sekolah SD deh) turut makan di kedai ini.

Karena saya tidak suka makanan pedas, saya pilih lauk yang aman saja. daging dendeng cabe hijau dan tahu. Cabe hijau bisa disingkirinlah biar gak terlalu pedas. Etapi si Uni penjual juga kasih kuah gulai di nasi saya. Sedikit sih. Tapi efeknya dasyat deh. Itu makanan jadinya pedes banget! Salut sama 2 anak kecil itu yang dengan lahapnya makan. Oiya ternyata tahu yang saya pesan tuh tahu yang dimasukkan kedalam usus sapi, yang disebut gulai Tambusu. Pantes aja agak alot waktu saya potong.

Kayaknya saya tau nih kenapa ada rumah sakit khusus stroke  di Bukittinggi ini. Lah... lihat aja kebiasaan makan masyarakat Bukittinggi. Dari kecil sudah dibiasakan makan makanan bersantan :D. Wah... sepertinya saya gak cocok nih dengan makanan yang ada di Bukittinggi. Nanti malam harus cari makanan yang lebih aman dari ini nih. Gak jadi nyobain itiak lado mudo yang di ngarai Sianok deh. Pasti gak tahan pedasnya :P

Jam Gadang

Kelar makan siang yang kepedesan, langsung ke area Jam Gadang.  Waduh... kog rame banget ya. Dari sekitar jam gadang bisa terlihat kota Bukittinggi. Mungkin karena letaknya di bukit dan tinggi tempatnya makanya disebut Bukittinggi. Mungkin loh...

Oiya, yang unik dari Jam Gadang ini adalah angka empat Romawi yang ada pada jam tersebut tercetak IIII bukan IV! Sebetulnya kalau diperhatikan jam dengan angka Romawi seperti ini juga ada di stasiun Kota, Jakarta. Cuma yang di stasiun Kota jauh lebih kecil, semacam jam dinding gitu.


Sayangnya bangunan jam gadang ini tidak bisa dinaiki. Pasti lebih seru kalau bisa naik sampai atas dan melihat kota Bukittinggi dari sana.

Karena masih ramai dan cuaca pun agak mendung, saya hanya sebentar disana dan memutuskan untuk menjelajah area sekitar jam gadang ini. Di dekat jam gadang ada mall Plaza Bukittinggi dan ada beberapa outlet makanan yang sudah saya kenal seperti pizza dan ayam goreng si Opa Sanders. Yah kalau mentok gak ada yang jual makanan yang gak pedes bisa deh mlipir kesitu :D

Kampung Cina

Ternyata dengan berjalan kaki saya sampai di Kampung Cina. Disini banyak berdiri restoran dengan aneka menu dan di Kampung Cina ini juga saya menemukan klenteng juga jembatan Limapeh diatas jalan raya di Kampung Cina yang menyerupai tembok gerbang.


Tadinya saya mau ke Janjang Seribu tapi setelah tanya2 dengan warga setempat ternyata lokasi Janjang Seribu cukup jauh dari tempat saya berada saat ini dan angkutan umum dengan rute kesana tidak ada, harus jalan kaki dulu. Daripada habis waktu di jalan, mending saya mengunjungi tempat2 yang ada di sekitar saya saja.

Kebun Binatang, Jembatan Limapeh dan Fort De Kock

Saya tanya kalau mau berjalan di jembatan Limapeh harus mulai dari mana? Ternyata jembatan Limapeh itu menghubungkan kebun binatang Bukittinggi dengan Fort (benteng) De Kock.

Saya perhatikan tempat2 di Bukittinggi ini naik dan turun. Jadi kalau terletak diatas, kita harus menaiki tangga berundak2. Kampung Cina termasuk berlokasi di bawah. Untuk menuju kebun binatang saya naik tangga berundak. Kebun binatang di Bukittinggi ini disebut Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Setelah membayar tiket masuk yang juga sekaligus tiket menuju Fort De Kock saya mulai menelusuri kebun binatang ini. Gak terlalu luas sih kebun binatang ini tapi lumayan bersih. Di tengah kebun binatang ada sebuah rumah gadang. Ternyata itu adalah museum yang dinamakan Museum Rumah Adat Baanjuang.


Di depan rumah gadang ini terdapat sepasang patung manusia yang memakai baju adat khas Minang. Untuk masuk ke rumah gadang ini harus membayar tiket masuk. di dalam rumah ini terdapat beberapa hewan yang sudah diawetkan. Gak jelas juga sih konsep dari museum ini. Eh disini bisa sewa baju adat khas Minang loh. Kan keren tuh bake baju Minang terus foto2 deh di depan rumah gadang :P.

Saya melanjutkan jalan2 siang menuju jembatan Limapeh. Juka kita berjalan hampir ke tengah jembatan, maka kita bisa merasakan jembatan bergoyang2. Hiy...

Saat saya kesana tidak banyak orang yang berkunjung ke kebun binatang juga hanya beberapa orang saja yang melintasi jembatan Limapeh. Oiya, jembatan ini hanya untuk pejalan kaki saja loh, eh kayaknya bisa sih juga dilintasi pesepeda.

Akhirnya sampai juga di seberang kebun binatang yang berarti saya sudah sampai di area Fort De Kock. Tempat ini lebih sepi dari pada di kebun binatang dan tempatnya seperti hutan kota. Satu2nya bangunan yang saya lihat disini tuh seperti bangunan gudang air yang ternyata itulah benteng De Kock. 

Saya membayangkan bentuk benteng itu seperti yang saya lihat di pulau Kelor; benteng Martello atau paling tidak seperti yang di Jogja; benteng Vredeburg. Fort De Kock tidak terlihat seperti benteng, bangunannya kecil. Kalau saja tidak ada meriam di depannya, orang pasti bertanya2 dimana bentengnya.

Goa Jepang, Ngarai Sianok  dan Jenjang Koto Gadang

Selesai dari sini saya melanjutkan perjalanan ke Ngarai Sianok. Jalan di Bukittinggi ini menurun dan menanjak. Demikian pulan jalan menuju Ngarai sianok. Kalau pas turun enak jalannya tapi kalo menanjak, lumayan bikin betis kenceng deh :D

Jalan menuju Ngarai terlihat cukup sepi. Saya sempat bertanya ke anak sekolah arah menuju Ngarai karena tidak ada plang informasi.

Mulai memasuki kawasan Ngarai, suasana berubah sejuk. Di sebelah kiri bukit dan di kanan lembah. Saya kog gak liat ada angkutan umum yang lewat sini ya? Gempor nih kalau nanti pulangnya harus jalan kaki lagi. Di tengah perjalanan, saya melihat 3 anak kucing yang kesemuanya belang 3 di dalam karung. Sepertinya anak2 kucing tersebut dibuang. Di dalam karung plasting yang dibiarkan terbuka juga ada makanan kucing. Duuuhhhh... kasian...

Ternyata bukit yang saya lewati itu adalah goa/lobang Jepang yang merupakan benteng pertahanan Jepang pada masa penjajahan Jepang berbentuk seperti bunker yang berkelok2. Informasi yang saya dapat pintu masuk ke gua ini ada beberapa dan salah satunya di Ngarai Sianok. Saat saya kesana tidak ada pengunjung yang masuk ke dalam goa. Sempat lihat2 dari luar tapi akhirnya saya memutuskan untuk tidak masuk. Di dalam terlihat gelap namun penjaga goa akan menemani kita dan membawa senter saat masuk kedalam. Kog saya merasa agak2 spooky ya di dalam. Untuknya Uda yang jaga pintu masuk Goa Jepang baik, gak maksa saya untuk masuk ke goa dan nunjukin arah ke Jenjang Koto Gadang.

Menuju Jenjang Koto Gadang yang katanya nih disebut juga The Great Wall-nya Bukittinggi. Hmmm... mari kita buktikan sebutan itu :D

Memasuki jalan masuk harus jalan menurun dan agak menanjak. Setelah itu jalan mendatar melalu jalan setapak yang sudah di paving. Pemandangan keren loh. Tebing dengan warna hijau tumbuhan di beberapa tempat. Melewati jembatan gantung yang dibawahnya sungai. Selanjutnya? Hmmm.... ini nih yang jadi pe er!

Kita harus menaiki anak tangga yang gak tau jumlahnya, yang pasti banyak deh! Disinilah disebut the great wall of Koto Gadang karena di pinggir anak tanggak dibangun tembok yang mirip seperti tembok China. Ini sih namanya tanggal penyesalan; diterusin gempor, gak diterusin sayang udah sampe sini. Eh saat menaiki anak tangga beberapa kali terlihat monyet bergelayutan diantara ranting pohon.

Lagi megap2 eh ketemu sesama pengunjung juga. Jadi deh sambil naik anak tangga kita ngobrol2. Hufftt... akhirnya sampai juga di tangga terakhir. Pemandangannya lebih keren dong dari yang dibawah tadi. Ada papan selamat datang di Panorama View - Ngarai Sianok juga ada tugu Janjang Koto Gadang. Seandainya aja ada ojek motor untuk turunnya, saya sewa deh. Ngebayangin harus menuruni tangga, duuuhhhh... kog berat banget ya.


Kelar foto2, saya dan teman baru itu segera turun. Secara udah mendung gitu, daripada keujanan di jalan nanti tambah rempong. Nah... pas turun ini kita iseng untuk menghitung berapa anak tangga yang dilalui sampai anak tangga terakhir. Ternyata lebih dari 350 anak tanggal loh. Pantes gempor secara naik dan turun tinggal dikali dua aja tuh!

Saya berpisah dengan si teman baru dan melanjutkan perjalanan. Bertanya2 dalam hati apa ada angkutan yang menuju Pasar Atas dari sini? Saya berhenti sebentar di sebuah kedai di akhir perjalanan turun dari Janjang Koto Gadang dan bertanya ada angkutan umum ke Pasar Atas dan dijawab ada tapi nunggunya lama. Eh... ada Uni yang lagi beli minuman negur saya, ternyata kita sempat berpapasan diatas Janjang Koto Gadang. Dia sekeluarga akan turun dan saya baru sampai. 

Dia bilang dia dan keluarganya juga akan ke Pasar Atas dan menawarkan kepada saya untuk ikut mobilnya. Ya ampun... baik banget sih Uni ini.

Akhirnya saya nebeng mobil Grandmax  si Uni bersama keluarganya. Uni sekeluarga ini datang dari Solok dan menyempatkan untuk ke Janjang Koto Gadang. Sekeluarga loh naik sampai atas, termasuk 2 anak kecil yang tentunya digendong orangtuanya. Alhamdulillah saya ditolong si Uni, karena gak berapa lama kemudian gerimis. Sepertinya tidak akan sampai hujan deras dan keliatanya cuma sebentar. Tuh... liat, langitnya terang, gak sampai gelap.

Sampai di parkiran Pasar Atas kita pisah. Makasih ya Uni dan Uda yang udah kasih tebengan kepada saya :). Saat saya sampai masih hujan ringan dan sialnya saya lupa membawa payung. Bawa sih tapi di backpack dan lupa dipindahin ke pouch. Hadeuh....

Untungnya cuma sebentar, walaupun masih gerimis, saya memutuskan untuk meneruskan jalan sampai penginapan.

Sampai di penginapan, saya tanya ke resepsionis untuk angkutan umum di Bukittinggi sampai jam berapa beroperasinya, dan dijawan cuma sampai jam 18.00. What!!! Gak bisa ke martabak Kubang Hayuda dong. Daripada bisa berangkat tapi pulangnya bingung :(

Setelah Maghrib, saya keluar penginapan lagi. Kali ini mau cari makan malam dan gak mau dengan menu nasi kapau atau menu ala Minang lainnya! Hmmm... ternyata semakin malam, udara di Bukittinggi ini semakin dingin. Pantes saja saya lihat banyak orang yang memakai sweater. Saya aja yang gak tau, jalan2 tanpa pakai baju hanget. Pantesan semakin lama berjalan di luar berasa semakin dingin semriwing :D

Waaahhh... ternyata di area Jam Gadang malampun ramai! Banyak penjual kaos yang menjajakan dagangan. Selain itu juga banyak pedagang makanan. Saya sih jalan terus aja menuju Kampung Cina. Dan ternyata keputusan saya tidak salah! Dari mulai memasuki jalan meuju Kampung Cina sudah banyak yang menjual aneka makanan. Bukan hanya itu, makanannya pun bervariasi. Ada roti bakar, martabak manis, warung tenda yang menjual seafood, nasi goreng dan voila... nemu warung tenda yang jual makanan nasi uduk dan ayam goreng! Yang datang pun lumayan banyak walaupun gak sampai antri.

Langsung pesan dan duduk manis menunggu makanan datang. Kalau kata peribahasa sih "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung" tapi kalau saya dijejelin makanan Minang selama di Bukittinggi... gak banget deh! ini perut langsung berontak :P

Kampung Cina di waktu malam seperti bukan di Bukittinggi deh. Banyak makanan non Minang bertebaran disini :D

Selesai makan malam, saya mampir di satu toko untuk membeli roti sebagai bekal untuk di perjalanan besok.

Saking dinginnya, kamar di penginapan yang tanpa kipas angin ataupun AC terasa sejuk seperti pake AC.

Karena kamar saya dekat dengan ruang tamu dan resepsionis, jadi kalau ada orang ngobrol kedengeran. Seperti saat saya mau tidur, eh kog ngedenger orang lagi ngobrol2 mengenai agama. Berasa kayak di Majelis Taklim deh :D