Pages

Friday, April 11, 2014

Journey To The West - Sumatera Barat (Day 2)

Bukittinggi - Batusangkar/Pagaruyung - Sawahlunto - Padang
Jumat, 4 April 2014
  • Angkot penginapan - RS Stroke Rp 3.000
  • RS Stroke - terminal Aur Kuning Rp 3.000
  • Elf Bukittinggi - Batusangkar Rp 10.000
  • Ojek Batusangkar - Istano Basa Pagaruyuang Rp 10.000
  • Tiket masuk Istano Basa Pagaruyuang Rp 7.000
  • Ojek Istana Pagaruyung - nunggu Elf ke Sawahlunto Rp 10.000
  • Elf Pagaruyung - Sawahlunto Rp 12.000
  • Tiket masuk Loebang Mbah Soero Rp 8.000
  • Tiket masuk Museum Goedang Ransoem Rp 4.000
  • Tiket masuk Museum kereta api Sawahlunto Rp 3.000
  • Elf (Jasa Malindo) Sawahlunto - Padang Rp 18.000
  • Angkot turun dari elf - Pasar Lama Rp 3.000
  • Angkot Pasar Lama - Jembatan Siti Nurbaya Rp 3.000
  • Guest house Brigitte's House --> dipindah ke New Padang House Rp 100.000
  • Kopi Milo depan HBT Rp 8.000
  • Makan malam ikan bakar Pak Tris Rp 87.000
Bukittinggi

Hari masih gelap ketika saya bangun. Terdengar suara adzan subuh. Langsung wudhu untuk shalat subuh. Brrr... dingin bingits! Karena semangat pengen ngubek Bukittinggi yang mengalahkan dinginnya air. Setelah shalat subuh, saya beres packing, biar sepulang dari jalan2 pagi dan mandi gak perlu ribet packing lagi.

Tapi kog gak lama kemudian kedengeran adzan lagi ya? Kog bisa 2x gitu? Ternyata setelah saya perhatian, yang beneran subuh tuh adzan yang kedua sementara adzan yang pertama kali saya dengan adalah untuk membangunkan orang2 bersiap untuk shalat subuh. Seperti di Mekkah gitu. Adzan di setiap waktu shalat dikumandangkan 2x. Pertama untuk membangunkan atau agar orang bergegas ke mesjid yang kedua baru adzan untuk bersiap shalat.

Setelah matahari muncul sedikit, saya langsung keluar penginapan untuk ngider :D.

Kali ini rutenya menyisir mulai depan hotel Antokan. Eh ini hotel juga direkomendasiin untuk backpacker loh. Tapi untuk saya mending di hotel Jogja deh. Jalan lurus sampai ketemu pasar; entah apa nama pasar itu. Lanjut jalan sampai ketemu persis di depan Pasar Wisata. Bangunannya bertingkat. Entah apa yang dijual di pasar ini. Kemarin sih sempat lewat sini pas mau ke kebun binatang tapi kog sepi2 aja ya?

Balik ke arah hotel Jogja dan terus jalan. Eh nemu kantor pos yang gedung kantornya berupa rumah gadang. Keren loh. Tadinya kalau deket, mau jalan sampaik rumah sakit stroke tapi keliatannya jauh deh. 

Akhirnya balik badan menuju jam gadang. Wow... pemandangan pagi hari dari area jam Gadang gak kalah cantik! Kota Bukittinggi yang dikeliling dua gunung; Marapi dan Singgalang nun di kejauhan. Gambaran gunung berwarna biru (karena jauh kali ye...) yang terlihat semburat kabut di badannya. Eh meleng dikit, hilang itu gunung tertutup kabut.

Eh ada yang lucu nih, di Bukittinggi (entah kalau di tempat lain di Sumatera Barat) rumah makan beda artinya sama restoran. Saya lihat di depan Simpang Raya disitu terpampang Rumah Makan dan Restoran Simpang Raya. Nah... bingung kan? Ternyata gak cuma Simpang Raya tapi dalam perjalanan saya menuju terminal Aur Kuning pun saya menemukan hal yang sama di lain rumah makan.


Matahari semakin tinggi itu berarti sudah waktunya sapa kembali ke hotel. Karena gak nemu makanan berupa nasi dan lauknya untuk sarapan, saya makan roti yang dibeli semalam.

Yang tadinya rencana mau meninggalkan hotel sepagi mungkin jadi lah baru berangkat jam 8an pagi. Kesiangan deh :(

Dari seberang penginapan saya naik angkutan umum sampai depan rumah sakit stroke. Penasaran nih jadi mampir sebentar. Dari situ lanjut dengan angkot ke terminal Aur Kuning untuk naik angkutan umum ke arah Batusangkar.

Bingung di terminal Aur Kuning. Secara gak tau  bus atau elf atau angkutan umum apapun yang menuju Batusangkar ngetem diman. Ternyata angkutan yang ke Batusangkar ada di dalam terminal. Jadi saya harus jalan dan masuk terminal. Hadeuh... pasti nunggu lama nih karena saya penumpang pertama yang masuk ke elf ini.

Batusangkar - Istano Basa Pagaruyuang

Akhirnya setelah menunggu selama nyaris 30 menit, elf pun berangkat. Terlihat di sekitar terminal Aur Kuning ini sedang ada pekerjaan jalananan entah perbaikan atau pembangunan jalan. Saya sangat menikmati perjalanan dari Bukittinggi menuju Batusangkar. Keren banget! Kelihatan gunung dan sawah. Belum lagi jalan yang meliuk2. Etapi jalannya mulus banget loh.

Lumayan jauh loh perjalanan ini, sekitar 1,5 jam. Satu per satu penumpang turun. Duuuhhh... saya gak tau harus turun dimana nih sementara sudah tinggal 2 penumpang termasuk saya yang tersisa. Saya langsung tanya aja sama Bapak penumpang lainnya, saya harus turun dimana kalau mau ke Istana Pagaruyung dan lanjut naik apa. Terima kasih ya Pak udah ditunjukin.

Untuk menuju Istana Pagaruyung saya harus naik ojek sesuai dengan informasi si Bapak tadi karena tidak ada angkutan umum yang menuju kesana. Bapak tadi juga bilang biasanya ongkos ojek sekali jalan Rp 10.000.

Di dekat saya turun dari elf memang ada pangkalan ojek. Saya langsung saja naik salah satu ojek dan bilang mau ke Istana Pagaruyung.

Saya berbelok ke Pagaruyung, saya lihat signage arah ke beberapa tempat dan untuk ke Pagaruyung harus menempuh 18 km. Whaaattt!!! Bisa masuk angin nih, naik motor sejauh itu.

Sepanjang jalan menuju Istano Basa Pagaruyuang, saya melewati ada rumah gadang yang besar dan megah, seperti istana. Juga saya melewati museum prasasti Adityawarman. Duuuhhh... tau gitu saya minta Uda ojeknya untuk berenti2 dulu deh.

Akhirnya sampai juga di depan Istano Basa Pagaruyuang. Uda ojeknya bilang, kalau nanti kembali mau dengan ojeknya saya tinggal telepon aja. Sempat tanya juga apakah ada angkutan umum yang langsung menuju Sawahlunto dan dijawab ada tapi harus keluar dulu dari Pagaruyung.

Alhamdulillah... bisa masuk ke istana ini. Sebelumnya saya khawatir istana ini belum dibuka untuk umum karena masih renovasi setelah terbakar akibat petir. Tapi dari info yang saya dapat istana ini sudah dibuka untuk umum sejak November 2013. Berarti belum terlalu lama dong.

Beda dengan rumah gadang seperti istana yang saya lihat sebelumnya yang memakai banyak warna, istana Pagaruyung ini hanya satu warna yaitu cokelat dan terlihat gagah berdiri. Setelah membeli tiket masuk, saya mulai melangkah menuju istana ini.


Setiap pengunjung diharuskan melepaskan alas kaki dan disimpan di tempat yang sudah disediakan. Istana ini terbuat dari kayu dan bertingkat 3. Di dalamnya penuh ornamen dari kain yang berwarna cerah, seperti pelaminan Minang. Eh disini juga bisa sewa baju adat Minangkabau loh.

Sempat curi2 informasi dari Bapak yang ada di pintu masuk, bahwa bangunan ini mempunyai satu tiang utama yaitu tiang yang pertama kali ditegakkan sebagai penopang rumah. Hanya tiang ini  yang berdiri tegak lurus, sementara tiang penyangga lainnya berdiri sedikit miring. Etapi kalau kita perhatikan, gak kelihatan loh kalo tiang2 lainnya itu miring. Hebatnya lagi, semua bentuk, ornamen dan ukiran di istana ini dibuat persis seperti asli; seperti istana sebelum kebakaran.

Kemudian saya lihat di halaman istana ini banyak umbul2 adat Minangkabau (yang disebut Marawa) yang berwarna hitam, merah dan kuning seperti bendera Jerman. Ternyata ketiga warna ini ada artinya loh. Masing2 warna melambangkan wilayah (luhak). Hitam untuk wilayah Limapuluh Koto, Merah untuk wilayah Agam dan Kuning untuk wilayah Tanah Datar.

Bapak itu juga bilang bahwa barang pusaka yang dulunya berada di dalam istana Pagaruyung ini sudah di pindah ke istana Silinduang Bulan. Hmmm.... jangan2 istana yang tadi saya lewatin itu istana Silinduang Bulan. Oiya, disamping istana Pagaruyung ini ada sebuah rumah gadang kecil yang ternyata itu adalah bangunan lumbung yang disebut rangkiang; tempat untuk menyimpan hasil panen.

Kelar keliling istana Pagaruyung, saya menelepon Uda ojek untuk menjemput saya untuk mengantar saya ke Batusangkar tempat menunggu angkutan umum ke Sawahlunto. Sebetulnya di seberang Istana Pagaruyung ini banyak tukang ojek yang mangkal, tapi tadi saya kan sudah janji mau pakai ojek yang sama.

Gak lama kemudian Uda ojek datang dan langsung ke Batusangkar. Etapi buka kembali ke arah saat saya datang melainkan lurus. Lumayan jauh juga loh, kurang lebih jaraknya sama seperti saya ke istana Pagaruyung.

Sampai di tempat pemberhentian elf, si Uda tanya apa perlu ditungguin sampai elf-nya datang langsung saya jawab gak perlu selama elf itu pasti lewat sini.

Saat saya sedang menunggu elf, tiba2 ponsel saya berbunyi. Ternyata dari Uda ojek. Dia cuma bilang elf yang ke Sawahlunto baru saja lewat, mungkin sebentar lagi akan sampai di tempat saya menunggu. Ya ampuuunnn... terharu saya, ketemu orang baik di tanah orang.

Beneran loh, gak lama kemudian elf yang dimaksud datang dan saya langsung naik.

Sawahlunto
Lobang Mbah Soero, Museum Kereta Api dan Museum Goedang Ransoem

Hari bertambah siang, pemandangan sepanjang Batusangkar menuju Sawahlunto gak seindah Bukittinggi ke Batusangkar. Tapi ada jalan yang keren banget! Jalan itu berupa turunan tajam yang juga tikungan tajam. Hiy... serem2 seru!

Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 2 jam, elf yang saya tumpangi sampai di Sawahlunto. Kalau tadi saya merasakan udara sejuk di Bukittinggi dan Batusangkar, kali ini saya merasakan Sawahlunto yang panas.

Sawahlunto ini kota tambang, tepatnya tambang batubara. Sebelum masuk ke Sawahlunto tadi saya melewati PLTU Ombilin. Panas terik cetar membahana saat saya sampai di Sawahlunto. Ini kaki bakalan belang deh :D

Tujuan pertama saya adalah ke museum kereta api. Jadi dari tempat saya turn dari Elf tadi menuju ke Pasar Sawahlunto yang terletak di seberang pool elf untuk menuju Museum Kereta Api.

Kayaknya saya datang ke Sawahlunto di saat yang kurang tepat deh. Iya, jadi pas saya nyampe tuh lagi jam shalat Jumat disambung istirahat yang jadinya lumayan lama. Semua museum tutup dan baru buka kembali sekitar jam 13.30. Duuuhhh... banyak waktu kebuang nih.

Koleksi yang terkenal dari Museum Kereta Api Sawahlunto adalah lokomotif yang bernama Mak Itam. Dan di hari dan jam tertentu diadakan wisata keliling Sawahlunto dengan menggunakan kereta wisata dan Mak Itam sebagai lokomotifnya dengan tarif yang terjangkau. Wuih... keren banget tuh. Sayang saya datang diluar jadwal operasi Mak Itam. Jadi gak kayak di museum kereta api Ambarawa, kalo mau wisata dengan menggunakan lokomotif uap harus sewa satu gerbong yang mahalnya gak ketulungan.

Di depan museum kereta api ini ada papan petunjuk objek wisata di Sawahlunto. Jangan salah, walaupun Sawahlunto itu kota kecil tapi disini ada wahana water boom juga loh... .


Dari sini saya langsung menuju Loebang Mbah Soero yang merupakan tambang batubara yang sudah tidak dipakai. Mbah Soero sendiri adalah mandor dari tanah Jawa yang dikirim bersama orang2 lainnya sebagai orang rantai (rante) untuk dijadikan buruh di tambang batubara di Sawahlunto pada masa penjajahan Belanda.

Di depan jalan masuk menuju tambang Mbah Soero, terdapat gedung perkantoran PT Bukit Asam, yang kalau dilihat dari bentuknya, ini pasti bangunan kuno. Jalan menuju Loebang Mbah Soero dan Museum Gudang ransum bukan jalan raya besar, melainkan jalan kecil tapi diaspal halus.

Sama seperti di Museum KA, disini pun masih tutup. Akhirnya jalan liat2 sekeliling, mana panas lagi. Ternyata di sekitar sini tuh memang kota tua. Terlihat ada gedung pusat kebudayaan Sawahlunto, hotel Ombilin, gedung koperasi Ombilin  dan beberapa bangunan tua peninggalan Belanda lainnya. Oiya, saya juga sempat melewati Societeit Cafe untuk sekedar ngopi dan leyeh2 yang lokasinya berdekatan dengan gedung pusat kebudayaan Sawahlunto. Ah... sayang waktu saya sangat terbatas, kalau tidak saya sudah memesan satu cangkir kopi di tempat itu.

Saya juga bertanya2 dengan penduduk setempat, travel atau kendaraan umum untuk menuju kota Padang. Dan ternyata ada! Saya menuju counter kecil Jasa Malindo, travel yang akan mengantar saya ke Padang. Orang yang saya ajak ngobrol bilang, beli tiket dulu sebelum jalan2 di Sawahlunto karena tiket mobil travel ke Padang untuk keberangkatan sore biasanya cepat habis terlebih di hari Jumat, hari terakhir kerja. Bergegas saya menuju tempat mangkal travel Jasa Malindo dan membeli tiket untuk keberangkatan yang agak sore setelah itu saya mulai menyusuri satu per satu objek wisata di Sawahlunto ini.

Kembali ke Loebang Mbah Soero yang untuk loket untuk membeli tiket masuknya berada di galery info box. Setelah membeli tiket, seorang pemandu - Pak Win - akan menemani saya. Tapi sebelumnya saya harus memakai sepatu boot dan helm. Sebelum masuk ke lubang tambang batu bara, di depan gerbang saya lihat Pak Win berdoa. Hmmm.... agak2 spooky nih.


Menurut Pak Win, semua pengunjung yang akan tour ke lubang Mbah Soero harus didampingi oleh pendamping. Ya iyalah Pak. Secara gelap dan seperti labirin gitu di dalam, ntar bisa2 nyasar kalau tanpa pemandu.

Semua komponen bangunan dari lubang ini masih asli; kayu dan besi. Untuk jalan memang sudah diplester agar tidak kotor dan licin oleh tanah. Kata Pak Win, sebelum ditemukan lubang ini tertimbun tanah dan didalamnya penuh dengan air. Jadi setelah dibersihkan dari tanah kemudian dikuras air didalamnya. Sepanjang perjalanan saya berdecak kagum karena saya berjalan diantara batubara dan bisa memgang dinding lobang yang terbuat dari batubara! 

Ada beberapa jalur di dalam lubang ini yang ditutup dan tidak boleh dilewati karena masih terendam air dan masih ada air mengalir di dalamnya. Memang lobang Mbah Soero ini lokasinya dekata dengan sungai Batang Lunto.

Jangan bayangkan da dalam lobang itu berasa sesak dan sumpek kurang oksigen loh. Jalan di dalam tambang walaupun kecil namun tidak sempit dan sirkulasi udara sudah disesuaikan bahkan terasa sejuk.

Pak Win sih gak ngomong yang aneh2 selama di dalam lubang tapi dari gerak tubuhnya, saya sepertinya melihat bahwa dia mau cerita sesuatu. Nanti setelah di luar lobang saya akan tanyakan dia.

Setelah kembali dari tour saya tanya2 ke Pak Win mengenai sejarah tambang ini. Dan benar saja, banyak kejadian pilu disana. Entah sudah berapa banyak buruh yang meninggal di dalam tambang ini. Ada yang terkubur longsor ada akibat disiksa.

Saya sempat bertanya kepada Pak Win, apakah tentara Belanda yang menyiksa para pekerja tambang dan dijawab bukan. Karena tentara Belanda gak akan berani masuk ke dalam tambang walaupun mereka bersenjata. Mereka pasti kalah jika dihadapkan dengan para pekerja tambang. Mereka hanya berjaga di luar tambang. Jadi siapa dong? Ternyata yang menyiksa adalah orang Indonesia sendiri yang dijadikan antek tentara Belanda. Semacam politik adu domba gitu.

Pak Win bilang, pengunjung yang memiliki indra keenam, biasanya gak mau untuk masuk kedalam lubang tambang. Hiy...

Setelah selesai dari Loebang Mbah Soero, saya melangkah ke Museum Gudang Ransum yang letaknya tidak jauh.

Museum ini pada jaman penjajahan Belanda digunakan sebagai dapur umum yang menyediakan makanan untuk pekerja tambang dan paramedis. Terlihat peralatan masak dalam ukuran jumbo. Di bagian belakang terdapat bangunan tempat tungku pembakaran yang gak kalah besarnya :D


Yang unik di salah satu bangunan di area belakang museum ini ada Galeri Melaka, yang berisi informasi  Melaka, Malaysia. Apa hubungannya ya kota Sawahlunto dengan Melaka?

Kelar berkeliling di Museum Gudang Ransoem,  saya melanjutkan ke Museum Kereta Api Sawahlunto dan gak sabar mau lihat Mak Itam, lokomotif uap koleksi museum ini.


Museum ini tidak terlalu luas dan ternyata garasi tempat Mak Itam berada di tempat terpisah dari museum ini dan gak ada tiket masuk untuk lihat Mak Itam! Yaelah... tau gitu tadi foto2 dulu si loko legendaris ini deh. Mak Itam dalam perbaikan karena kondisinya yang rudak akibat tersambar petir. Dengan begitu wisata berkeliling menggunakan kereta wisata dengan lokomotif Mak Itam juga untuk sementara ditiadakan.


Karena waktu yang sedikit, dari museum kereta api saya langsung ke pool travel. Ternyata mobil travelnya telat datang, yaaahhh... mending tadi mlipir ke Societeit Cafe dulu deh buat ngopi dan sekedar ngemil2. Sempet tanya2 sama petugas travel, bus terakhir akan berhenti dimana dan apakah masih jauh kalau mau ke jembatan Siti Nurbaya dan dijawab gak terlalu jauh. Okeh deh...

Eh inget2, hari ini saya belum makan siang loh secara gak liat kedai makanan yang gak pake menu Minang. Pantesan berasa agak2 kliyengan :D

Jalan antara Sawahlunto menuju Padang pun sama kerennya, masih meliuk2 gitu. Bahkan ada di satu titik dimana jalanan menurun sekaligus meliuk tajam. Seruuu...

Padang

Menjelang sore, bus masuk kota Padang. Ternyata dari tempat pemberhentian terakhir bus ke jembatan Siti Nurbaya tuh jauh banget! ah... salah nih kalo nanya sama orang lokal. Pasti dijawab deket padahal gak sesuai dengan kenyataannya.

Jadi dari tempat saya turun bus haru naik angkot menuju Pasar Baru dan dari sana ganti angkot untuk menuju jembatan Siti Nurbaya.

Sial, angkot yang saya tumpangi berhenti di tengah jalan dan dioper ke angkot lain gara2 mau muter. Ish...  sama aja kayak di Jakarta!

Waaahhh... saya salah turun! Tepatnya itu jembatan kelewatan malah udah nyaris sampai ke pelabuhan Muara. Jadi ikut muter angkotnya lagi deh dan turun di seberang jembatan Siti Nurbaya.

Nanya2 jalan Kampung Sebelah  tempat saya menginap di Brigitte's House. Untungnya kali ini gak pake nyasar tapi cukup gempor dengan jalan dan naik tangga menuju jembatan Siti Nurbaya. Akhirnya saya kesampaian berjalan kaki melewati jembatan Siti Nurbaya yang kondang itu. Eh jangan salah ya, jembatan tuh semacam jalan layang dan kalau sore hingga malam di trotoarnya banyak pedangan menjajakan aneka makanan. Pokoknya suasananya rame deh!

akhirnya sampai juga di Brigitte's House. Tapi apa yang terjadi sat saya tanyakan kamar saya??? Ternyata kamar yang disediakan untuk saya sudah diberikan kepada orang lain padahal nama saya masih tercantum di buku reservasi. Hadeuh... gimana nih? Udah sih capek dan lecek eh ditambah gak dapat kamar. Padahal saat saya memesan, saya sudah menawarkan untuk membayar dimuka untuk kamar yang saya pesan loh tapi dijawab bayar pas datang saja.

Sempat berdebat dengan petugas di penginapan, akhirnya saya dipindahkan ke penginapan lain yang masih satu pemilik dengan Brigitte's House yaitu New Padang House dengan kondisi dan harga yang sama seperti di Brigitte's. Saya bilang saya gak mau kalo penginapannya lebih jauh/blusukan ke dalam daripada Brigitte's, mereka bilang justru New Padang lebih dekat ke jalan raya. Syukurlah kalau begitu.

Voila... ternyata benar apa yang dibilang petugas di Brigitte's. New Padang dekat sekali ke jalan HOS Cokroaminoto ataupun ke jalan Nipah menuju jembatan Siti Nurbaya. Sangat strategis! Tuhan maha baik, selain letaknya yang sangat strategis, di penginapan ini dari semua kamar, yang terisi cuma 1 tamu yaitu saya.

Beda dengan di Brigitte's yang full house dan sebagian besar berisi tamu2 bule yang akan surfing ke pulau Mentawai di New Padang lebih sepi.

Setelah mandi, saya keluar penginapan untuk mencari makan malam dan jalan2 sekitar daerah tempat saya menginap.

Pokoknya malam ini gak mau makan dengan menu lokal! Di dekat penginapan terlihat ada restoran ayam penyet yang terkenal dan lainnya restoran ikan bakar. Naaahhh... saya mau seafood aja deh.

Makan malam di Ikan Bakar Pak Tris. Agak pricy sih makan disini tapi gak pa2 lah sekali2 manjain perut :P. Setelah kelar makan malam, saya melanjutkan jalan2 malam menuju daerah pecinan kota Padang yang lebih dikenal dengan sebutan Pondok.

  Kalau di sekitar jalan Cokroaminoto tempat saya menginap suasananya cukup sepi, di daerah pondok ini justru ramai. Terlihat restoran Ganti Nan Lamo yang sangat terkenal yang spesialisasinya menyediakan aneka menu minuman dengan duren.

Dari sini saya pengen sekali mencicipi kopimil di dekat klenteng HBT. Waduh.... kemana kaki harus melangkah nih, ternyata gak kelihatan bangunan yang menyerupai klenteng atau bangunan dengan ornamen Cina.

Akhirnya saya tanya2 orang dan masuk2 ke dalam gang dan.... ketemulah yang namanya kedai kopimil persis di seberang HBT!

Di daerah ini suasanya lebih ramai. Lebih banyak orang menikmati malam dengan makan dan minum yang dijajakan di sepanjang jalan. Juga banyak mobil dan motor yang berseliweran.

Jadi yang namanya kopimil itu dalah air kopi yang dicampur dengan Milo (cokelat) dan ditambahkan susu kental manis. Enaaakkk....

  Setelah menghabiskan satu gelas kopimil saya menyudahi perjalanan malam ini dan kembali ke penginapan sambil mengingat2 arah jalan yang harus masuk2 ke gang. Dalam perjalan ke penginapan, saya mampir di supermarket untuk membeli air minum. Sama seperti di Bukittinggi, di kota Padang ini juga gak ada tuh minimarket dengan nama yang sudah dikenal ada di mana. Yang ada hanya supermarket/minimarket lokal. Salut sama pemda Sumbar nih!

Oiya, kalau ada budget lebih, mending pilih kamar dengan AC karena di Padang lumayan panas. Memang sih di kamar yang saya pilih disediakan kipas angin tapi jadi kurang nyaman.

No comments:

Post a Comment